Latar Belakang Keluarga dan Kehidupan Awal
Raden Ronggo Prawirodirjo III (1796-1810) merupakan putra dari Ronggo Prawirodirjo II dan juga ayah dari Sentot Ali Basyah Prawirodirjo yang merupakan panglima perang Pangeran Diponegoro. Raden Ronggo Prawirodirjo III diberikan kepercayaan oleh Sultan Hamengkubuwono II untuk menjadi Bupati Wedana di daerah Madiun dimana daerah Madiun ini merupakan wilayah kekuasaan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Raden Ronggo Prawirodirjo III naik takhta menjadi Bupati Wedana Madiun pada tahun 1796 usai ayahnya Ronggo Prawirodirjo III mengalami kebutaan. Raden Ronggo Prawirodirjo III dikenal memiliki sifat yang sangat anti dan tidak ingin bekerja sama terhadap Kolonial Belanda. Bahkan kerap dipercaya bahwa Raden Ronggo Prawirodirjo III kerap membuat keputusn lama di masalah-masalah penting yang membuat Belanda selalu merasa rumit berurusan dengan Keraton.
Raden Ronggo Prawirodirjo III adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Jawa pada akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Sebagai Bupati Madiun, ia tidak hanya menjadi pemimpin lokal tetapi juga tokoh pemberontak yang berani melawan dominasi kolonial Belanda dan dinamika politik Kesultanan Mataram yang penuh intrik.
Peran Politik dan Ketegangan dengan Belanda
Pada akhir abad ke-18, situasi politik di Jawa sangat kompleks dan dinamis. Kesultanan Yogyakarta yang didirikan pasca-Perjanjian Giyanti (1755) berada di bawah tekanan besar dari Belanda. Perjanjian-perjanjian yang menguntungkan Belanda, termasuk Perjanjian Salatiga (1757), menimbulkan kekecewaan di kalangan bangsawan, termasuk Raden Ronggo.
Sebagai seorang bangsawan yang berpendidikan dan memiliki pemahaman mendalam tentang politik kolonial, Raden Ronggo memainkan peran penting dalam upaya mempertahankan otonomi lokal. Ia sering terlibat dalam pertemuan-pertemuan rahasia yang membahas strategi untuk melawan pengaruh Belanda. Keberanian dan keteguhannya dalam menentang kebijakan Sultan Hamengkubuwono I yang dianggap terlalu tunduk pada Belanda membuatnya menjadi figur sentral dalam perlawanan politik.
Raden Ronggo juga berperan sebagai mediator antara berbagai faksi dalam Kesultanan Mataram yang memiliki pandangan berbeda mengenai hubungan dengan Belanda. Ia berusaha membangun koalisi yang solid antara bangsawan lokal, pemimpin agama, dan tokoh masyarakat untuk menciptakan front persatuan dalam menghadapi ancaman kolonial. Namun, usaha-usaha ini sering kali menemui hambatan karena perbedaan kepentingan dan tekanan eksternal dari Belanda yang ingin mempertahankan kontrolnya.
Selain itu, Raden Ronggo aktif dalam membangun jaringan komunikasi dan logistik untuk mendukung upaya perlawanan. Ia mendirikan beberapa pos-pos strategis di wilayah Madiun yang berfungsi sebagai basis operasi bagi gerilya lokal. Inisiatif ini menunjukkan kecerdasan strategisnya dalam menghadapi superioritas militer Belanda dengan memanfaatkan taktik perang gerilya dan dukungan masyarakat setempat
Pemberontakan Madiun (1810)