Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia tegas menyatakan bahwa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan yang kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat. Berdasarkan hal tersebut, Indonesia dijalankan dengan sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu "Demos" dan "Kratos".
Demos bermakna khalayak (rakyat), sedangkan Kratos bermakna pemerintahaan. Senada dengan prinsip utama demokrasi menurut Aristoteles, yaitu kebebasan, demokrasi mengakomodasi kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya dalam bernegara.
Demokrasi, sebagai sistem pemerintahan, mengizinkan dan memberikan hak (kebebasan) kepada warga negaranya untuk menyampaikan pendapat, dan turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Sistem demokrasi diadaptasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan penentuan kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat, kepuasan rakyat akan tercipta dalam sebuah negara demokrasi.
Di usia Indonesia yang menginjak 76 tahun pada tahun 2021 ini, nilai-nilai demokrasi tidak terlihat menjadi acuan dalam berbangsa dan bernegara. Kepentingan pribadi maupun golongan diutamakan daripada kepentingan umum, apalagi bagi mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, yaitu oknum pejabat pemerintahan.
Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin marak terjadi beberapa tahun terakhir. Tindakan korupsi ini sejatinya melukai hati rakyat Indonesia karena uang yang dijarah dengan tindakan haram oleh para oknum pejabat tersebut berasal dari kantong-kantong rakyat yang diakumulasikan di dalam kas negara melalui pajak.
Selain itu, kasus berupa praktik suap-menyuap yang melibatkan oknum pejabat dengan oknum pengusaha juga sering muncul ke permukaan. Objek yang biasanya dijadikan ladang praktik suap-menyuap antara pejabat dan pengusaha adalah masalah perizinan lahan dan pengadaan barang dan jasa publik. Relasi di balik layar inilah yang seringkali menjadikan masyarakat menjadi terpinggirkan dalam penetapan kebijakan di Indonesia.
Seharusnya, di bulan lahirnya Indonesia rakyat Indonesia bersukacita karena telah berhasil untuk tetap bersatu dan berproses selama 76 tahun setelah lepas dari kolonialisme. Tujuh puluh enam tahun bukan sebentar dan Indonesia patutnya telah berkembang menjadi negara yang lebih dewasa dalam bernegara, tetapi kenyataannya terbalik, rakyat berdukacita.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2020, total kerugian yang timbul akibat praktik korupsi di Indonesia mencapai Rp56,7 triliun. Hal tersebut tentunya sangat ironis karena di tahun 2020 Indonesia sedang mengalami pandemi yang mengakibatkan resesi di mana pengangguran dan kemiskinan semakin meningkat.
Pemerintah, dalam menyikapi hal ini, terlihat seperti tidak memiliki political will untuk memberantas dan mencegah praktik korupsi terus terjadi. Khususnya untuk praktik korupsi, rakyat Indonesia patutnya cukup cemas karena Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat seperti dilemahkan dengan direvisinya UU KPK dan upaya bongkar pasang anggota.
Di sisi lain, upaya rakyat untuk menyuarakan pendapatnya mengenai kepentingannya yang dipinggirkan, untuk kepentingan individu dan golongan dengan demonstrasi, seringkali mendapat tindakan represif dari aparat keamanan. Hal ini tentunya semakin membuat oknum pejabat lebih leluasa untuk melancarkan aksinya. Oleh karena itu, banyak analis dan pengamat yang menyatakan bahwa pemerintahan terlihat semakin ke arah otoriter seiring dengan praktik korupsi yang terus marak terjadi.