“Ini soal perang bisnis antarnegara saja karena CPO bisa lebih murah dari minyak bunga matahari mereka,” - Presiden Republik Indonesia, Ir.Joko Widodo
Oleh Fikri Alamsyah mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
Polemik Industri Kelapa Sawit
Pasca bencana KARHUTLA yang terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir akibat pembukaan lahan kelapa sawit, pemerintah menaruh perhatiannya untuk mengembangkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan. Memang mempersiapkan lahan dengan membakar terbakarnya hutan lebih murah dan mudah dibanding cara-cara lain, menjadikannya sebagai metode utama yang dipilih. Indonesia sendiri sudah mencatatkan kawasan hutan yang terbakar sekitar 328.772 hektare, lebih rendah dibanding pada tahun 2015 yang berkisar 2,6 juta hektare lahan yang terbakar. Pada dunia industri kelapa sawit, Indonesia dan Malaysia lah yang memiliki peran besar pada industri ini, kedua negara Asia ini merupakan pemasok kelapa sawit global sebesar 85% dari total penghasil kelapa sawit di dunia. Melalui korporasi swasta, perusahaan milik negara dan petani, Indonesia memiliki 16,381 juta hektare lahan budi daya kelapa sawit, serta mengoperasikan lebih dari 791 pabrik. Komoditas ini memberi kontribusi pada ekspor senilai 21-22 miliar dolar AS pada tahun 2020.
Namun dengan luas lahan yang dimiliki indonesia, praktik pengembangan lahan berkelanjutan menjadi keharusan bagi ekonomi dan lingkungan hidup Indonesia, seperti yang dikatakan oleh seorang ilmuan senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) yaitu bapak Herry Purnomo bahwa “Keberlanjutan bukan pilihan, tapi keharusan” dan dia juga berpendapat peluang pembangunan berkelanjutan industri kelapa sawit merupakan peluang bagi para produsen indonesia untuk bersaing diranah global.
Problematika Kelapa Sawit di Indonesia
Keuntungan yang di dapatkan Indonesia pada industri ini bukan berarti tidak memiliki efek samping yang negatif. Dampak negatif dari produksi minyak sawit adalah gundulnya hutan yang menjadi wadah bagi perindustrian kelapa sawit di beberapa wilayah yang tersebar di indonesia . Hal ini merupakan fakta karena gundulnya hutan yang terjadi di indonesia sebagian besar untuk keperluan industri kelapa sawit. MeskipunIndonesia adalah produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di dunia, Indonesian juga merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS).
Kritik yang diterima pemerintah Indonesia pun sudah sangat banyak terlontar dari kelompok-kelompok pecinta lingkungan hidup, salah satunya adalah kritik terhadap pemerintah yang terlalu memprimadonakan industri kelapa sawit yang berdampak pada penggundulan hutan dan penghancuran lahan bakau,adapun kritik yang membandingan pemerintah indonesia dengan pemerintah Uni Eropa, pasalnya negara-negara Uni Eropa telah membuat aturan-aturan hukum yang lebih ketat mengenai produk-produk impor yang mengandung minyak sawit, yang membuat produksi sawit dinegara tersebut menjadi tidak ramah lingkungan.
Data Produksi Minyak Sawit di Indonesia
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mencatat bahwa sepanjang tahun 2020 dari bulan januari sampai dengan juni, produksi minyak sawit di Indonesia tercatat sebesar 23,47 ton. Angka tersebut lebih rendah dari produksi yang tercatat pada tahun 2019 yaitu pada jangka waktu bulan yang sama yaitu sebesar 25,88 juta ton.
Seperti yang dikatakan Joko Supriyono Ketua umum GAPKI yaitu Supriyono bahwa produksi yang dilalukan secara kumulatif sudah turun sekitar 9%, namun bila dilihat dari perbulannya sejak januari, produksi kelapa sawit mengalami peningkatan dan pada bulan juni 2020 produksi minyak dari kurun waktu 6 bulan merupakan produksi tertinggi yakni sebesar 4,5 juta ton, Angka ini tumbuh sekitar 13,6% dibandingkan Mei 2020 yang sebesar 3,96 juta ton. Meskupin produksi yang terjadi dari bulan januari sampai juni mengalami peningkatan tiap bulannya, tetap saja produksi sawit pada tahun 2020 masih minus dibandingkan tahun sebelumnya.