Oleh : Irvan Ahmad Junaidi
Wahai tuan Pendoktrin..
Tak perlu Kau usik pelangi yang terbentang indah di ufuk bumi
Meracik argumentasi berbau iri pada nuansa yang beragam mesra berdamai
Seolah panorama estetika hanya terpatri
Pada sepenggal warna yang ia akui
Hingga pemberontakan ego sentris terwujud menguasai nurani nan otak kiri
Wahai tuan pendoktrin..
Tak perlu kau umbar opini-opini penyesatan di gendang telinga anak dini
Meramu retorika muslihat dengan dalih-dalih pembenaran yang terurai rapi
Lalu tertawa terbahak-bahak Tanpa menyadari ia telah memperkosa dirinya sendiri
Tampa klarifikasi, ia bersembunyi di balik ketiak para tetua klan yang melindungi
Wahai tuan pendoktrin ..
Tak perlu kau nodai kitab suci dengan
Interpretasi kolok tak berdawai
Laksana anak tua mencabuli anak dini
Busung dada memalingkan muka di selimuti rasa dengki
Namun merengek seketika di lucuti di meja diskusi
Wahai tuan pendoktrin ..
Mengapa tak kau nikmati saja lukisan
Indah rona jingga dengan secangkir kopi
Barangkali setelah meneguk larutan gula nan kopinya mampu menenangkan hati
Sembari kau hirup asap tembakau yang menstimulasi lahirnya sejuta inspirasi
Sebab masing-masing warna punya skill nan corak berbeda dalam mengedukasi
Wahai tuan pendoktrin ..
Cukup sudah dogma-dogma pembodohan
Yang kau cipta tuk bersandiwara
Mengungkung nalar berfikir dalam lembah paling gulita hingga taklid buta
Sebab mereka butuh wadah yang sejiwa tuk berkreasi mengasah potensinya
Setelah itu, biarkan mereka berekspresi di
Semesta menjadi manusia merdeka.
Maumere, 26 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H