Seperti yang kita ketahui di era media sosial seperti sekarang ini, banyak tekanan yang diterima orangtua terkait pola pengasuhan yang ideal. Semakin orangtua merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi ekspektasi, semakin meningkat pula stres dan kecemasan. Semakin orangtua membandingkan pengasuhannya dengan standar sosial, semakin sikap itu mengikis kepercayaan dirinya. Berbicara tentang pengasuhan, pada akhirnya memang berbicara keseimbangan, atau mungkin berbicara implikasi.
Artinya bagaimana kita seimbang dalam muhasabah dan upaya perbaikan, bagaimana kita semangat belajar dan membelajarkan, serta bagaimana kita mampu menuntut diri kita sendiri sebelum kita menuntut anak-anak kita. Tanpa sadar, kita pernah atau bahkan sering terjebak pada sebuah klaim atau argument atau informasi yang kita sendiri belum menelusuri atau menginformasinya lebih jauh. Sebagai contoh, marak dalam perbincangan atau dalam tulisan-tulisan terkait rusaknya bagian otak anak sebab perlakuan kasar orangtua.
Seperti contoh di kampung saya sendiri banyak orangtua yang mengabaikan argument dari anak-anaknya yang menyebabkan anak-anak tersebut takut untuk bercerita atau memberitahu orangtuanya tentang apa yang mereka alami, entah itu di sekolah atau di lingkungan bermainnya. Tak sedikit pula orangtua yang kemudian berujung pada paranoid (cemas) dengan sikap dan perlakuan salah yang telah diberikan pada anak.
Berkenaan dari hal tersebut, seorang tokoh bernama Wastell dan White (2012) menyampaikan argumennya dalam sebuah jurnal, bahwa otak anak sebetulnya tidak mudah rusak, dimana keberadaannya dilindungi oleh organ-organ pelindung. Bahkan, dengan terlalu berhati-hatinya kita berbicara dengan anak, cukup kontroversi dengan upaya kita dalam menegaskan kedisiplinan. Rasa bersalah dan rasa malu terlihat dalam perilaku seseorang, terutama ketika berinteraksi dengan orang lain. Perasaan tersebut juga mudah terlihat dalam hubungan orangtua dan anak.
Selanjutnya, berbicara kerusakan otak pada anak, salah satunya bisa kita hubungkan dengan konteks child abuse (pelecehan anak). Child abuse memang ada dan bukan mengada-ngada. Artinya, ragam kejadian dimana anak disiksa secara fisik maupun psikis, itu memang terjadi. Bahkan pemerkesoaan terhadap anak di bawah umur juga semakin banyak di zaman sekarang ini, yang menyebabkan orangtua cemas terhadap pengasuhan yang mereka berikan. Apakah pengasuhan tersebut sudah benar atau salah.
Mencerna konteks "penyiksaan" diatas, cukup logis korelasinya terhadap perkembangan mental anak. Adapun ciri yang dapat di indera secara kasat mata yaaitu, berupa sikap minder, gugup, ragu, cemas, takut dan sejenisnya. Namun penting juga untuk kita khusunya sebagai orangtua untuk memahami bahwa, anak yang merupakan korban "salah asuhan" itu sebetulnya bisa disembuhkan. Walaupun tentu saja butuh upaya yang tak sederhana. Minimal kita bisa merangkul atau menerima anak tersebut dengan penuh kasih sayang. Kita terima keberadaannya, kita berikan asupan optimisme, kita berikan padanya ruang untuk berkarya.
Oleh karena itu, upaya-upaya tersebut juga butuh waktu, karena seorang anak dengan pengalaman yang menyakitkan tentu, memikul dampak yang tak biasa. Tetapi, ini salah satu upaya yang ideal yang berbanding lurus dengan keyakinan. Adapun hubungannya dengan konteks pengasuhan yang dihadapi oleh orangtua, contoh "ekstrim" diatas tidak dalam rangka meremehkan kesalahan kita sebagai orangtua dalam proses mengasuh sang buah hati, melainkan bagaimana kita fokus pada solusi yang akan kita gunakan untuk memecahkan kecemasan kita.
Bukan pula menjadi sebuah pembolehan untuk kita mengulangi kesalahan asuhan, melainkan bagaimana kita mampu seimbang dalam menyikapinya. Artinya, kita sepenuhnya sadar mengakui apa yang salah dengan apa yang telah kita lakukan kepada buah hati kita. Menjadi orangtua memanglah tugas yang sangat berat yang tak mudah diemban. Sekalipun kita sudah menyiapkan mental dan pengetahuan yang banyak sebagai orangtua, ada saja perasaan merasa bersalah sebagai orangtua. Maka dari itu, mari kita sama-sama mengubah pola pikir kita sebagai orangtua, agar dalam pengasuhan terhadap anak kita bisa membedakan pola pengasuhan yang baik kita gunakan dan yang tidak baik untuk kita gunakan atau terapkan terhadap anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H