Lihat ke Halaman Asli

Kita Tidak Bisa Bebas dari Kata Mengapa

Diperbarui: 17 Desember 2023   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar belakang tulisan ini ialah hasil dari pada diskusi panjang terkait kata "mengapa", pikiran saya terlintas buku daras filsafat, kalau tidak salah buku itu di halaman-halaman awalnya membahas dan memblezeti kata "mengapa", tingkat alasan dari kata "mengapa" menjadikan kita paham terhadap diri kita sebagai manusia yang konon katanya mempunyai hasrat ingin cari tahu, dalam membuat pilihan ataupun di hadapkan dengan pilihan, semua mempunyai rasionalisasi tersendiri, sebab alasan-alasan tersebut menjadikan dasar dalam memilih dan menjalankan atas pilihan kita. Setiap langkah yang kita tempuh dan setiap keputusan yang kita ambil, senantiasa diawali dengan pertanyaan:"Mengapa?", pertanyaan ini menjadi cikal bakal untuk menyusun rasionalisasi dan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan dan mengandung konsekuensi logis yang harus di tanggung.

Para filosof menjelaskan bahwa kata "mengapa" termasuk salah satu dari tiga pertanyaan mendasar tentang sesuatu. Ketiga pertanyaan tersebut adalah "mengapa", "adakah" dan "apakah". Tiga Pertanyaan itu menjadi cikal bakal otak manusia akan bekerja, semasih manusia hidup, ia tidak akan bisa bebas dari pertanyaan mengapa, pertanyaan itu akan tidak terlintas dalam benak manusia bila mana ia sudah meninggal, walahuallam.

Oleh sebab itu, untuk setiap pengetahuan yang akan kita geluti, kita mesti mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: Mengapa kita harus mempelajari pengetahuan tersebut?
Kekurangan apakah yang akan saya dapatkan jika saya tidak mempelajarinya?, bila manusia itu pada dasarnya mempunyai hasrat ingin tahu (konon katanya awal mula manusia berfilsafat syarat akan hasrat ingin tahu), dengan demikian dalam setiap ilmu pengetahuan yang mau kita geluti mengandung konsekuensi logis dalam mempelajarinya, sederhana saja dengan manusia moderen di perguruan tinggi sekarang, sebenarnya kita membuang waktu untuk belajar (waktu yang di korbankan), padahal kita bisa melakukan sesuatu yang lainnya tampa kita memilih untuk belajar, sederhananya kita pilih untuk tidur-tidur saja ataupun bermain hp, game ataupun scroll vidio di Android. Artinya sesuatu yang kita pilih ialah menjadikan dasar kita dalam melangkah dan menopang hidup kita, serta alasan-alasan yang mengikuti kita dalam mempraktikkan pilihan, contoh sederhana, begitupun dalam memilih jajan, beragam jajanan yang disajikan, "mengapa" kita memilih satu jajanan?, bahakan tendensi alasan ekonomis pun ia adalah landasan pula dalam memilih jajanan, dan pasti akan melahirkan kata "mengapa" selanjutnya, hobi selera ialah alasan pula dalam memilih sesuatu.

Di balik kata "mengapa" akan melahirkan kata "mengapa" yang baru, bukan menjadi solusi yang mentok bila mana kita memberikan alasan terhadap pertanyaan "mengapa" yang di awal, contoh, "mengapa" saya harus mengikuti diskusi? Sebagai landasan dasar yang sederhana ialah kita akan menjawab, karena diskusi sebagai sarana menukar informasi dan melatih public speaking, akan ada pertanyaan "mengapa" yang menghantuinya kembali, mengapa saya harus menukar informasi, toh, mereka juga bisa menukar informasi dengan yang lainya, ataupun melatih public speaking, mengapa saya harus melatih public speaking, sedangkan public speaking tidak terlalu saya butuhkan, "mengapa" saya tidak belajar yang lain?, "mengapa" saya harus belajar yang lain? Mengapa saya harus mempelajari yang lain?, dan akan begitu terus sampai seterusnya, inilah yang saya maksud, kita tidak bisa bebas dari pertanyaan "mengapa". Harus di ingat, pertanyaan "mengapa" berlaku bagi manusia yang mempunyai hasrat ingin tahu, pertanyaan "mengapa" berlaku di tiap lini hidup kita yang berkaitan dengan keputusan serta pilihan secara subjektif.

Sebenarnya menjawab pertanyaan kata "mengapa" menurut subjektif saya ialah dengan praktik, bila mana kita mengajak seseorang untuk mengikuti serta berideologis sama dengan kita, begitupun dalam mengikuti organisasi, para mahasiswa yang terdidik di perguruan tinggi tidak sepatutnya terjebak di dalam kata "mengapa", untuk merasionalisasikan pertanyaan "mengapa" ia harus melaksanakan atas rasionalisasinya dalam memilih sebuah organisasi, sebab memilih organisasi menjadi keniscayaan kita bergabung didalamnya mempunyai tanggung jawab, sebab itu adalah konsekuensi logis atas pilihan atas organisasi, dengan demikian tidak ada lagi pertanyaan "mengapa" saya harus ikut organisasi? lahir pasca kita bergabung di organisasi yang kita pilih, sebenarnya pun mengandung konsekuensi logis bila mana kita bergabung di organisasi lainnya, sebagai saran supaya tidak salah kaprah dalam memilih sebuah organisasi di ranah perguruan tinggi, terlebih dahulu kita secara subjektif harus mencari tahu terkait organisasi yang ingin kita geluti (sebagai dasar pengetahuan umum kita dalam memilih sebuah organisasi), dengan demikian, kita suguhkan pertanyaan dalam diri kita dengan kata "mengapa" saya harus berorganisasi? Bila mana ada keputusan yang lahir di kepala kita secara sadar, maka kita akan di hadapkan dengan kata "mengapa" organisasi banyak?, kenapa tidak satu saja?, mengapa saya harus memilih organisasi A (semisal) mengapa tidak organisasi B, untuk menjawab itu secara subjektif harus dengan kesadaran penuh untuk mencari pengetahuan terhadap organisasi A dan organisasi B, sebagai pengetahuan pembanding, dengan demikian kita mau mengikuti organisasi mempunyai dasar yang kuat untuk bentuk pertanggung jawaban kita secara subjektif.

Semua yang saya jelaskan diatas bukanlah sekedar teori belaka. Secara biologis anatomi tubuh manusiapun mengatakan demikian. Otak manusia terdiri dari bagian luar yang di sebut dengan neokorteks dan bagian dalam yang disebut limbik. Neokorteks adalah bagian otak yang sifatnya kalkulatif dan rasional, ia juga memiliki kemampuan berbahasa, ia bisa menjelaskan mengapa sesuatu lebih baik dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Sedangkan otak bagian dalam, yaitu limbik, tidak memiliki kompetensi berbahasa, ia tidak bisa menjelaskan sesuatu, tetapi ia memiliki daya motivasi untuk mendorong manusia melakukan sesuatu, sekalipun ia sulit mengatakan kenapa ia terdorong melakukan itu. Nah, neokorteks menjelaskan "apa", sedangkan limbik menjelaskan "mengapa". Dalam konteks organisasi, gejala malas yang di alami oleh sebagian orang, khususnya mahasiswa untuk berorganisasi, hampir bisa dipastikan karena ketidakmampuan organisasi menjelaskan "mengapa" mereka/orang-orang harus bergabung dengan organisasi itu. Sehingga tidak ada daya yang menstimulasi seseorang untuk "bergerak bersama" dengan organisasi, bahkan sekalipun sudah tergabung dengan organisasi, belum tentu ada gairah untuk "bergerak bersama". Karena pertanyaan yang paling fundamental didalam benak mereka belum terjawab, akhirnya mereka merasa sia-sia dengan apa yang akan/sedang mereka lakukan.

Bila mana organisasi kita mau memperkenalkan dengan manusia di perguruan tinggi, maka syarat terlebih dahulu kita harus menyampaikan dengan mata yang terbuka serta sejujur-jujurnya kita dalam menyampaikan fakta yang ada didalam organisasi kita, saba untuk menjawab kata "mengapa" yang lahir di kepala calon kader, kita mengedepankan rasionalisasi dan argumentasi syarat akan kejujuran, dan fakta-fakta organisasi itu sudah melakukan sesuatu untuk anggotanya dan lingkungannya, sehingga efek yang lahir ialah keterbukaan mereka dalam mengikuti organisasi dengan di landasi kesadaran penuh, kesadaran yang saya maksud ialah kebijaksanaan kita dalam menjalan keputusan yang kita pilih.

Pertanyaan "mengapa" tidak hanya berhenti di forum-forum dialek bahakan yang sering melahirkan kata mengapa ialah di saat kita melakukan kontemplasi serta perenungan subjektif (reflektif subjektif). Dengan demikian, kata "mengapa" membutuhkan alasan-alasan yang rasional dan ilmiah berdasarkan fakta yang terjadi (pengetahuan umum) "mengapa" demikian?, akan melahirkan kata "mengapa" selanjutnya dan akan terus menghantui semasa kita hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline