Lihat ke Halaman Asli

Syarbani UNUkase

Memajukan Gerak Langkah ke-Umat-an

Setelah HTI Dibubarkan

Diperbarui: 30 Juni 2017   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : HM Syarbani Haira

Pengajar pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi), Universitas NU Kalsel

PEMERINTAH melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Jenderal (Purn) Wiranto, dengan didampingi sejumlah pejabat terkait, beberapa waktu lalu mengumumkan rencana pembubaran Hizbuth Thahrir Indonesia (HTI). Langkah ini diambil pemerintah, karena HTI dalam sejumlah sepak terjangnya, serta visi misinya, melakukan kegiatan yang tak sejalan dengan ideologi negara, Pancasila dan UUD 1945. Direncanakan, pembubaran terhadap  "partai politik" yang menganggap demokrasi itu haram ini, secara resmi dilakukan via pengadilan, yang hari ini pihak pemerintah sedang melengkapi data-data penyimpangan HTI dalam garis perjuangan mereka terhadap kenegaraan dan kebangsaan.

Tentu saja keputusan ini dianggap keliru oleh para pentolan HTI. Melalui juru bicaranya, Ismail Yusanto, HTI menilai pemerintah salah kaprah. Menurutnya, tak ada yang salah dalam HTI. HTI tidak bertantangan dengan Pancasila. HTI hanya ingin melaksanakan ajaran Islam, dan menyebarkannya kepada masyarakat luas. Ismail Yusanto pun serta merta menuding pemerintah semena-mena, dan menganggapnya seperti gaya Orde Baru.

Sampai hari ini para pendukung HTI masih ngomel-ngomel, jengkel kepada pemerintahan Jokowi -- JK. Salah seorang kader HTI asal banua, yang kini menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) bahkan menulis kolom pendek, yang kemudian dipublikasikan melalui sejumlah media mainstrem. Anak muda yang mendapatkan gelar doktor di Jepang itu lantas menuding negara tak faham filsafat dan matematika, sehingga menjadi berlebihan ketakutan terhadap kehadiran HTI, yang dianggapnya sesungguhnya tidak punya kekuatan apa-apa, selama ummat Islam tidak mendukungnya. 

Melalui sejumlah media mainstream, nampak terlihat sejumlah kader dan simpatisan HTI mengeluarkan uneg-unegnya, sembari mengemukakan sumpah serapahnya terhadap rezim kita hari ini, khususnya terhadap Presiden Joko Widodo. Tudingan mereka, tentu melengkapi isu yang berkembang selama ini, bahwa mantan Walikota Solo itu "kurang Islamy", dan selalu dikait-kaitkan dengan isu-isu negatif lainnya, termasuk ada kaitannya dengan  "organisasi terlarang" selama Orde Baru.

Beberapa kali saya kerap ditanya publik soal tuduhan itu. Saya sama sekali tidak percaya. Menurut hematku, tuduhan orang-orang itu sama sekali tidak beralasan. Jauh sebelum Jokowi jadi Presiden, almarhum KH Hasyim Muzadi pernah memerintah Rais Syuriah PCNU Solo, untuk menyelidiki siapa sesungguhnya Walikota Solo itu. Ternyata, yang bersangkutan orang biasa saja, berbisnis meubel dan kayu jati, dan seperti orang Jawa lainnya, lengket dengan kebudayaan Jawa. Hal lain yang khas dari Jokowi adalah, sebagai muslim ikut aktif pengajian keagamaan, dan menjadi "santri" di sebuah majelis taklim / pengajian yang dipimpin oleh seorang habib kenamaan di Solo.

Untungnya, Jokowi tidak terpancing dengan semua tudingan tersebut. Dia selalu bekerja seperti biasa, mendatangi rakyatnya, dan selalu berupaya untuk membantu rakyat banyak. Kesulitan Jokowi dalam merombak kultur birokrasi, tak serta merta difahami oleh rakyatnya. Karena itu, kegagalan Jokowi untuk memperbaiki negeri ini, menjadi sasaran "tembak" kader HTI dan kelompoknya, bahwa presiden ke-7 ini tak layak menjadi Kepala Negara. Terlebih untuk era kini, di mana kapitalisme dan liberalisme terus merasuk kehidupan sosial politik, maka seolah-olah negara ini sudah kapitalis dan liberalis, sebuah kesimpulan yang gebyah uyah, sesungguhnya.

Dukungan Banyak Pihak

Walau demikian, langkah negara untuk membubarkan HTI itu tak serta merta ditolak rakyat banyak. Justru mendapat dukungan, bahkan dari elemen-elemen bangsa yang determinant dalam negeri ini. Sebut saja ada dukungan institusi, seperti MUI, NU, Muhammadiyah, kampus-kampus negeri dan swasta, bupati walikota, gubernur, partai politik, kaum cendekiawan, dan lain sebagainya. Artinya, kelompok yang tidak setuju dengan HTI sangat besar.

Mantan Ketua MK misalnya, Prof. Dr. H. Mahfud MD, termasuk yang setuju HTI dibubarkan. Hanya dia minta harus melalui pengadilan. Artinya, langkah negara untuk membawa kasus HTI ke pengadilan sudah tepat. Pihak HTI masih terbuka kesempatan untuk membela dirinya, seperti yang kerap dikemukakan para pentolannya. Dalam konteks ini, pertama HTI harus bisa membuktikan bahwa mereka itu nasionalis murni, benar-benar sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945, seperti yang kerap dilontarkan para tokoh-tokohnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline