Angin disertai hujan lebat mengguyur kota Bengkulu semenjak pagi. Badai seperti ini biasa terjadi karena letak kami tepat di tepi Samudera Hindia. Diruang tamu sederhana bekas rumah dinas yang disulap menjadi kantor, kami berkumpul sambil menikmati kopi panas dan goreng sukun yang dipesan dari kantin. Agenda sore itu membahas progresspekerjaan dilapangan dan masalah masalah yang dapat menghambat selesainya pekerjaan. Sekarang sudah bulan Agustus artinya 4 bulan lagi pekerjaan harus sudah selesai.
Satuan Kerja Listrik Perdesaan (Lisdes) Bengkulu merupakan salah satu unit kerja diantara begitu banyak unit kerja yang ada di PLN. Kami pegawai PLN yang “dipinjam” Kementerian ESDM untuk membantu tugas Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan membangun jaringan listrik didaerah-daerah yang belum mendapat akses listrik dari PLN. Setelah dapat dioperasikan, Kementerian ESDM akan melakukan serah terima dengan PLN sehingga jaringan tersebut akan menjadi aset PLN. Kerena mengelola anggaran APBN, kami berhubungan dengan banyak instansi di bawah Direktorat Jendral Ketenagalistrikan, Direktorat Jendral Perbendaharaan, Pemerintah Daerah dan tentunya PLN sendiri.
Personil Lisdes sangat terbatas, walaupun demikian kami tetap berusaha bekerja semaksimal mungkin. Kondisi ini membuat kami terbiasa membantu mengerjakan sesuatu diluar job descriptionyang telah ditetapkan. Keuangan membantu perencanaan, perencanaan menjadi pengawas lapangan bahkan menjadi supir dan pengambil nomor antrian disaat harus bolak balik ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara untuk mengajukan Surat Perintah Membayar.
Membangun Jaringan Listrik Tegangan Menengah (JTM), Jaringan Tegangan Rendah (JTR) dan Gardu Distribusi
Sebagai unit kerja yang membuka akses listrik, tugas kami membangun JTM, JTR dan Gardu Distribusi didaerah yang terpencil, seringkali medan yang kami hadapi begitu ekstrim. Membangun jaringan melewati hutan, perkebunan, perbukitan dengan kondisi jalan tanah, dimana saat hujan menguyur akan berubah menjadi kubangan lumpur. Dengan kondisi tersebut, pelaksana harus kreatif memilih cara bagaimana material dari site bisa sampai di lokasi pekerjaan. Saat kendaraan bermotor tidak bisa diandalkan gerobak dorong digunakan untuk mengangkut tiang beton, trafo, kabel, isolator serta accesories lainnya. Hal seperti ini sering kali membuat hasil pekerjaan tidak sesuai dengan rencana awal. Tak jarang pengawas lapangan dan pelaksana terjebak berhari-hari tak bisa keluar dari lokasi karena akses jalan yang tertutup.
Selain kondisi alam, kendala yang biasa kami hadapi yakni warga yang tidak rela tanaman produktifnya harus ditebang dan mengajukan tuntutan ganti rugi yang besar. Hal ini dapat kami maklumi, pohon sawit yang menjadi harapan untuk mendapatkan penghasilan harus rela ditebang agar listrik sampai ke desa sebelah. Penebangan harus dilakukan dan kami tidak mempunyai anggaran untuk ganti rugi. Untuk menyelesaikan masalah seperti ini kami melakukan mediasi yang dihadiri ketua adat, Kepala Desa, Polsek dan Camat. Apabila kesepakatan belum didapat, mediasi bisa sampai ke Bupati. Gangguan juga tak jarang kami dapatkan dari oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan dari pekerjaan yang dilakukan.
Semua pengorbanan itu akan terbayar saat jaringan yang dibangun dapat beroperasi, pasang baru segera dibuka dan desa yang awalnya gelap gulita menjadi terang. Desa yang telah berlistrik ternyata menjadi begitu “sexy”, menarikmasyarakat yang masih bermukim di gunung dan ladang berangsur-angsur pindah. Desa tersebut akan berkembang bahkan membentuk dusun-dusun baru yang tentunya membutuhkan jaringan listrik baru pula.
Listrik Gratis untuk Masyarakat Tidak Mampu