Hampir tiga bulan terakhir Izzis anak kami tinggal di Tanjung Karang. Sementara saya harus pulang-balik Liwa (Lampung Barat) – Tanjungkarang (Bandarlampung) setiap minggu. Berangkat jumat malam dari Liwa dan tiba di Tanjungkarang pukul1 atau 2 dini hari.
Agar lebih lama bersama Izzis, saya kembali ke Liwa Minggu malam dan tiba di Liwa pada pukul 1 atau 2 dini hari. Paginya harus kembali bekerja. Saya terpaksa harus berpisah dengan Izzis karena sulit mencari pengasuh bayi di Liwa. Pengasuh sebelumnya berhenti karena akan menikah. Pasca itu, belum menemukan pengasuh pengganti, hingga sekarang.
Sedih rasanya, hanya bisa bertemu Izzis pada Sabtu-Minggu. Padahal Izzis baru 15 bulan. Baru mulai berjalan. Izzis butuh saya, meski sekarang Izzis sudah disapih.
Sebenarnya dilema. Bila Izzis bersama saya di Liwa. Saya khawatir akan terlantar. Saya khawatir kondisi kesehatannya dan perkembangan jiwanya jadi kurang baik karena hanya berdua dengan saya. Di Liwa saya tidak memiliki kerabat. Kalau hanya mengandalkan pengasuh yang bekerja dari pagi hingga sore, rasanya kurang cukup. Terlebih ketika Izzis berada di bawah penguasaan pengasuh selama saya bekerja. Selalu ada perasaan khawatir. Apakah Izzis baik-baik saja? Apakah Izzis diberi makan dan minum yang cukup? Apakah Izzis cidera? Dan lainnya. Saya dan suami khawatir sekali, kalau-kalau ada yang ditutup-tutupi pengasuh tentang kondisi Izzis selama di bawah pengawasannya.
Kalau pengasuh sudah pulang, saya hanya berdua dengan Izzis. Kadang untuk ke kamar mandi harus menunggu Izzis tidur terlebih dahulu. Seringnya, kalau Izzis terjaga, saya letakkan Izzis di depan pintu kamar mandi, sementara saya cuci piring, mandi, bahkan BAB dan BAK, sambil sekali-kali menegok ke arahnya dan berusaha menghibur Izzis agar dia tidak menangis. Meski berat dan lelah, itu menjadi bagian sangat menyenangkan menjadi seorang ibu. Masalahnya, muncul ketika Izzis tiba-tiba kurang sehat, terutama di malam hari. Entah batuk, pilek, apalagi tiba-tiba demam. Rasanya campur aduk. Namanya juga mengurus anak sendirian. Saya harus minta tolong sama siapa?
Saya relakan Izzis tinggal di Tanjungkarang bersama suami dan mertua. Setidaknya di sana lebih ramai orang yang memperhatikan Izzis. Setidaknya kalau Izzis tiba-tiba tidak sehat, bisa cepat dibawa ke rumah sakit. Seperti beberapa waktu lalu, saat Izzis mencret-mencret (sehari 3-7 kali BAB) dan muntah-muntah dengan frekuensi 5-9 kali sehari, berlangsung selama 3 hari sebelum kami bawa ke UGD. Beruntung, ada rumah sakit yang dekat dengan tempat tinggal kami di Tanjungkarang.
Enam hari saya menemani Izzis di rumah sakit. Anak itu, lebih senang tidur di atas badan saya. Kalau dia sadar dipindahkan ke kasur, langsung menangis mencari saya. Sedih.. sedih!
Sejak saat itu, saya kompromi dengan suami. Ya sudah, Izzis di Tanjungkarang saja. Biar saya saya yang pulang-balik Tanjungkarang-Liwa.
Kebiasaan Izzis tidur atau bersandar di atas badan saya jadi lebih sering saat tiga bulan terakhir. Mungkin Izzis merasa, belakangan ini tidak sering bertemu saya.Gemuruh terasa di hati kalau ingat bagaimana perilaku Izzis belakangan ini. Kalau Izzis bangun dan tidak melihat saya, dia langsung memanggil, “Mi… Mi…” sambil merangkak ke dapur. Sedih, saya sedih sekali tidak berada di samping Izzis setiap hari. Saya ingin segera pindah kerja. Bagaimanapun caranya, saya harus pindah. Semoga bupati menyetujui berkas permohonan mutasi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H