Lihat ke Halaman Asli

Cap Go Meh Semarakkan Singkawang

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_84120" align="aligncenter" width="500" caption="Empat tatung."][/caption]

Cap Go Meh tidaklah meriah tanpa Singkawang. Ya, selama tiga hari berturut-turut (26-28 Feb), "Kota Seribu Kelenteng" di Kalimantan Barat ini dipadati ribuan wisatawan yang datang dari kota-kota di sekitarnya, seperti Pontianak, Mempawah, dan Sintang. Bahkan ada juga yang jauh-jauh datang dari Jakarta, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Untunglah, saya dan teman-teman dari CROSS (Centre for Borneo Studies) berkesempatan mengunjungi langsung lokasi perhelatan akbar ritual warga keturunan Cina yang digelar limabelas hari setelah Imlek ini (dalam dialek Hokkian, Cap Go Meh = 15 hari). Berikut, laporan dan foto-foto terpilih. Semua foto yang ditampilkan adalah dokumentasi pribadi.

Hari 1: Seminar Kebudayaan dan Festival Lampion ==================================== [caption id="attachment_84076" align="alignright" width="300" caption="Kelenteng Budi Dharma berhiaskan banyak lampion. "][/caption] [caption id="attachment_84068" align="alignright" width="300" caption="Mobil hias yang dinaiki para pejabat, termasuk Walikota Singkawang Hasan Karman. "][/caption] [caption id="attachment_84070" align="alignright" width="300" caption="Kue keranjang terbesar se-Indonesia; dibungkus dengan warna kuning emas. "][/caption] [caption id="attachment_84430" align="alignright" width="300" caption="Tatung sedang beraksi. "][/caption] [caption id="attachment_84436" align="alignright" width="300" caption="Tandu-tandu tatung dipersiapkan. Perhatikan bilah-bilah pisau pada alas duduk, sandaran, dan lengan tandu! "][/caption] [caption id="attachment_84480" align="alignright" width="300" caption="Lampion terbesar se-Indonesia. "][/caption] [caption id="attachment_84498" align="alignright" width="300" caption="Panggung utama. "][/caption] [caption id="attachment_84509" align="alignright" width="300" caption="Babi-babi merah."][/caption] [caption id="attachment_84543" align="alignright" width="300" caption=""Amoy" menyalakan hio untuk sembahyang."][/caption] [caption id="attachment_84521" align="alignright" width="300" caption="Tatung dan darah ayam."][/caption] [caption id="attachment_84525" align="alignright" width="300" caption="Tatung dan paha anjing."][/caption] [caption id="attachment_84530" align="alignright" width="300" caption="Jelangkung."][/caption] Acara pertama yang kami ikuti adalah seminar kebudayaan bertajuk "Cap Go Meh dalam Kerangka Bhinneka Tunggal Ika" di Gedung Sun Moon, Singkawang. Hadir sebagai pembicara, antara lain Pastor Dr. Robini Marianto, OP dari Pusat Kajian Asia Timur UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa; Dekan FKIP Universitas Tanjungpura, Pontianak, Dr Aswandi; dan mantan Wakil Kepala Staf TNI-AD Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri. Seminar ini dimoderasi oleh Agung Tra dari Harian Kompas. Adapun Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Ph.D. yang semula dijadwalkan untuk memberikan seminar ternyata berhalangan hadir. Reportase singkat tentang isi seminar dapat dibaca Kompasianers di Kompas.com. Bagi saya sendiri, secara umum seminar itu berlangsung cukup menarik; terbukti dari banyaknya pertanyaan dan pernyataan yang diajukan pada sesi tanya-jawab. Hanya saja, penyelenggara seminar seharusnya juga mengundang tokoh(-tokoh) masyarakat Cina yang paham betul perihal Cap Go Meh, entah asal-usulnya atau makna filosofisnya, dan yang mengalami langsung represi kebudayaan Cina oleh rezim Orde Baru. Di malam harinya, Festival Lampion pun diselenggarakan. Berbagai jenis mobil hias dan figur dekoratif lain berbaris menyusuri jalan-jalan arteri dan tikungan-tikungan di kawasan pertokoan. Puluhan ribu warga berdiri di sepanjang tepi jalan, menyaksikan parade jalanan dengan antusias. Beruntunglah mereka yang tinggal di rumah-rumah bertingkat di sepanjang rute parade—mereka dapat menikmati indahnya barisan cahaya aneka warna tanpa harus berjejal dengan warga lainnya. Hari 2: "Pembersihan" Jalan-jalan dan Pentas Seni-Hiburan ============================= Pagi-pagi saya berangkat ke Stadion Kridasana, tempat akan berlangsungnya pentas seni dan hiburan pada malam harinya. Hawa masih sejuk, stadion masih sepi, panggung pun belum selesai didekorasi. Di sana beberapa kali saya memotret kue keranjang terbesar (tinggi 99 cm, diameter 2,88 meter, berat 8,735 ton) dan lampion raksasa (tinggi 22 meter, diameter 32 meter). Keduanya telah dicatatkan dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Di seberang tribun penonton, pameran fotografi bertajuk "Singkawang: Jade of Equator"memajang foto-foto perayaan Cap Go Meh tahun lalu. Foto-foto tersebut merupakan jepretan delapan fotografer kondang Indonesia, salah satunya yang saya ingat ialah Jay Subyakto. Sekitar pukul 10 dengan sepeda motor kami mengunjungi sejumlah kelenteng kecil dan rumah warga yang tersebar di gang-gang. Saya ingin memastikan kalau-kalau para tatung (orang-orang yang kerasukan roh halus) sudah memulai ritual menyucikan jalanan dari gangguan roh jahat. Dan, ternyata betul. Di sejumlah kelenteng dan rumah para penabuh musik sudah bersiap-siap. Tandu untuk para tatung (sebagian besar warga Cina Khek) pun sudah dijajarkan. Maka, kami pun melesat menuju Vihara Tri Dharma Bumi Raya, yang merupakan vihara terbesar di kota Singkawang. Ke tempat itulah para tatung dari segala penjuru kota diarak oleh tandu-tandu beralaskan bilah pisau dan bergigi paku sambil diiringi tetabuhan simbal dan genderang. Sesampainya di vihara pusat kota itu, mereka melakukan sembahyang untuk beberapa saat, lalu berangkat menuju kelenteng/vihara lain. Ratusan polisi yang berjaga turut membantu kelancaran arak-arakan tatung ini. Setiap kali ada arakan yang melintasi persimpangan, kendaraan pribadi lain akan berhenti dan menunggu sampai arakan tersebut lewat. Tatung-tatung memang bertugas untuk menyucikan jalan-jalan kota sebelum perayaan Cap Go Meh yang sebenarnya berlangsung (hari 3). Pada malam hari, keramaian dipusatkan di Stadion Kridasana. Di sini berbagai acara hiburan digelar, seperti lagu-lagu yang dinyanyikan para jawara karaoke Mandarin se-ASEAN, atraksi barongsai dan liong, kembang api, tarian Dayak dan Eropa, peragaan busana rancangan Clara Niken, dan paduan suara. Semua acara ditampilkan hingga larut malam. Namun, kami tidak menonton seluruh pertunjukan. Hari 3: Ritual Cap Go Meh =================== Inilah hari yang paling ditunggu semua warga kota dan wisatawan. Sejak jam 5 pagi tetabuhan simbal dan genderang sudah meramaikan suasana. Semua arak-arakan tatung berkumpul menuju Stadion Kridasana untuk dicatatkan jumlahnya oleh MURI. Inilah rekor ketiga yang berhasil diraih: Perayaan Cap Go Meh dengan peserta tatung dan jelangkung terbanyak (estimasi 777 kelompok). Secara beriringan, arak-arakan bergerak menuju ke pusat kota. Di beberapa titik, misalnya di dekat patung Naga Emas yang menjadi maskot Kota Singkawang, telah dipersiapkan altar persembahan. Di dekat altar dipajang pula babi-babi merah utuh yang akan dipotong-potong dan dibagikan kepada warga sekitar (semacam zakat).  Ada juga beberapa benda seni yang akan dilelang selama perayaan berlangsung. Pada hari inilah atraksi tatung mencapai puncaknya. Mereka menusukkan pipi mereka dengan bilah-bilah logam. Ada pula yang memakai teralis jendela, bilah payung, tombak, pedang, dan lain-lain. Para tatung pun tidak hanya berasal dari kalangan pria dewasa, tetapi juga wanita dan bahkan anak-anak. Tidak hanya menusukkan benda tajam, beberapa dari mereka juga mengisap darah ayam dan anjing. Arak-arakan terus menjalankan tugasnya berkeliling dari satu altar ke altar lain di setiap sudut kota hingga menjelang petang hari. Akhirnya, pada pukul 3 sore kami pulang ke Pontianak, mengakhiri kunjungan kami ke Singkawang. Sungguh sebuah empiri eksotis. Dari perayaan Cap Go Meh, kami semakin disadarkan akan indahnya keberagaman budaya Nusantara yang semuanya ternaung dalam satu entitas bernama Indonesia. Masyarakat Tidayu (Tionghoa, Dayak, Melayu) sungguh hidup dalam harmoni di Bumi Khatulistiwa ini.[] PS: Kompasianer yang ingin melihat lebih banyak hasil jepretan saya, silakan menjenguk album foto Facebook saya pada tautan di bawah ini: 1. Hari ke-1 2. Hari ke-2 (pagi-siang) 3. Hari ke-2 (malam) 4. Hari ke-3 [caption id="attachment_84559" align="alignnone" width="225" caption="Altar persembahan."][/caption] [caption id="attachment_84565" align="alignright" width="300" caption="Tatung jelita."][/caption] [caption id="attachment_84557" align="alignnone" width="225" caption="Tatung kakek dan bocah."][/caption] [caption id="attachment_84561" align="alignnone" width="225" caption="Tatung dan teralis jendela."][/caption] [caption id="attachment_84555" align="alignnone" width="225" caption="Tatung dengan banyak tusukan di pipi."][/caption] [caption id="attachment_84792" align="alignnone" width="225" caption="Tatung dan payung."][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline