Lihat ke Halaman Asli

HiQudsStory

Content Writer, Full time Blogger

Mengenang Almarhum Penyair Abdul Hadi WM, Guru Penyair Indonesia

Diperbarui: 28 Februari 2024   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenang alm. Abdul Hadi WM, dok: @sukmatom

Menyebut nama penyair Abdul Hadi WM, seorang penyair era 70-an yang karya-karyanya banyak dijadikan referensi dalam mempelajari sastra Indonesia, membuat saya teringat akan karya-karyanya yang sangat kuat dan estetis. Karya sastra beliau bukan sekedar karya puisi tapi juga karya sastra sufi. Seangkatan dengan Sutardji Calzoum Bachri yang didapuk sebagai Presiden Penyair Indonesia, maka Abdul Hadi WM layaknya pantas menyandang gelar sebagai Guru Penyair Indonesia, seperti yang diusulkan oleh Isbedy Setiawan ZS.

Sebagai konseptor gerakan sastra Angkatan 70, gerakan sastra sufi dan gerakan kembali ke akar, Abdul Hadi WM mencetuskan gerakan sastra sufi yang berhasil menjadi gerakan sastra yang masif dan terus menggeliat hingga hari ini. Berikut salah satu pemaparan Agus R. Sarjono dalam diskusi sastra mengenang 40 hari wafatnya Prof Abdul Hadi WM di Teater Kecil, Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, Senin (26/2) lalu.

Gerakan kembali akar Abdul Hadi WM

Agus R. Sarjono mengutarakan bahwa gerakan kembali ke akar yang dicetuskan Abdul Hadi WM menjadi jawaban atas kondisi di mana jejak kolonialisme barat begitu kuat tertanam di Nusantara. Gerakan kembali ke akar bahkan menjadi tren bukan hanya sastra namun juga bidang lain. Sudah seharusnya kita menanamkan gerakan tersebut agar terus tumbuh dan berkembang.

Selain kehadiran Agus R, Sarjono, diskusi yang dipandu Riri Satria ini juga dihadiri oleh pemateri lain seperti Maman S. Mahayana yang mengulas bahwa pada era ini muncul karya sastra yang membawa ciri baru, yang memiliki perbedaan mencolok dengan karya-karya sebelumnya.

Diskusi sastra mengenang alm. Abdul Hadi WM dok: @sukmatom

"Pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya," tambah Kang Maman, sapaan akrab kritikus sastra itu.

Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur Barat. Semangat yang tampak berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya.

Acara diskusi yang berlangsung mulai pukul 14.00 siang itu menampilkan insight baru tentang karya Abdul Hadi WM termasuk keterkaitan Abdul Hadi WM dengan genre puisi sufi. Almarhum sanga berpegang teguh pada prinsip penting hidupnya yang dia perjuangkan dari awal hingga akhir yaitu jembar atau lapang dada, seperti yang diulas Sofyan RH Zaid.

Diskusi sastra mengenang alm. Abdul Hadi WM, dok; @yonbayu

"Jembar atau samahah atau bisa juga disebut al-shafh merupakan ajaran vital dalam kesufian, sehingga menjadi salah satu puncak tertinggi capaian seorang sufi. Jembar adalah rasa puas, rasa tenang, hilangnya rasa cemas, serta terus menerus merasa gembira. Tidak sedih kala kehilangan, tidak terlalu bahagia saat mendapatkan," terang Sofyan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline