Lihat ke Halaman Asli

Karma (Kisah Kecil Pasca Gestok PKI)

Diperbarui: 29 September 2015   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saban hari, dari pagi sampai petang, berbulan-bulan lamanya. Pasca peristiwa pemberontakan - orang menyebutnya pemberontakan Gerakan 30 September 1965 dan kata buku-buku sejarah pemberontakan didalangi oleh Partai Komunis Indonesia/PKI. Terus menerus, kecuali hari Minggu dan hari-hari besar, aku harus menyaksikan secuil tragedi kemanusiaan bagian dari sebuah tragedi besar anak bangsa.

Sudah setengah abad, teriakan-teriakan yang menyayat itu .. jeritan dan raungan orang-orang merasakan sakit luar biasa akibat sundutan api rokok, pukulan, hantaman potongan kayu atau kursi kayu, Darah melumuri baju dan celana, membasahi lantai bekas pendopo kabupaten peninggalan kolonial Belanda, di sebuah kota kecil bernama Banyumas, Jawa Tengah. Peristiwa itu sungguh sulit mengelupas dari ingatan. Jangankan mengelupas, dikelupas pun pun teramat sulit. Setiap hari aku seperti melihat tontonan gratis nan mengerikan.

Mula-mula aku sama sekali tidak begitu paham siapa sebenarnya mereka, lekaki perempuan, tua muda, orang desa orang kota, perempuan-perempuan yang pakai rok atau tapih kebaya yang tiap pagi diangkut truk dengan kawalan tentara dibawa ke gedung bekas kediaman bupati jaman Belanda, ditanya dipaksa menjawab ….dan disiksa jika jawabannya tidak sesuai dengan jawaban yang diinginkan interogator. Kalau sudah begini , tidak berapa lama terdengar raungan dan jeritan orang.

Almarhum bapakku yang adalah seorang seorang pejabat di level kecamatan tidak pernah bercerita tentang kehadiran kolega tentaranya dan orang-orang misterius yang diangkut dengan truk. Setiap hari, lebih sering malam, rumah dinas asisten wedana Banyumas, bapakku, kerap kedatangan serombongan tentara. Mereka ngobrol, almarhum Ibu selalu membikinkan kopi panas. Aku dan kakakku serta adik-adikku tidak boleh keluar apalagi nguping percakapan tamumya Bapakku dulu Asisten Wedana di kota kecil ini. Ada satu satu dua tentara yang aku kenal. Lainnya hanya mengenal tapi tidak kenal.

Tentang pemberontakkan PKI sudah sering mendengar dari radio atau dari ceritera orang dan aktivis-aktivis anti komunis. Dari pada dari pada penasaran terus yang tidak ada ujungnya akhirnya bikin konklusi sendiri.. “ orang-orang yang setiap pagi diangkut truk menuju gedung bekas kantor bupati itu tentu ada kaitannya dengan ontran-ontran G 30 S PKI “ atau ada yang menyebut GESTOK/Gerakan Satu Oktobher 1965  karena peristiwa pemberontakan yang kemudian berujung menjadi tragedi kemanusiaan itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jenderal Tentara Nasional Indonesia dilakukan pada dinihari 1 Oktober 1965.

Begitu;ah yang terjadi sampai berbulan-bulan. Pasca Gestok 1965 gedung bekas kediaman bupati itu selalu ramai dengan hilir mudik truk-truk yang dikawal tentara bersenjata lengkap . Truk-truk itu mengangkut orang-orang - yang baru belakangan baru aku tahu bahwa mereka adalah orang-orang anggota PKI atau orang-orang yang disangka simpatisan partai komunis.

                                                               ****

 

Ini hanya kisah sebesar pasir saja dari sebuah tragedi besar kemanusiaan yang aku saksikan setiap hari selama berbulan-bulan. Bruaaakkk…..bruaakkkk..bruakkkk di suatu siang. Terdengar suara benda keras beradu dengan benda lain…. Disusul suara raungan orang minta ampun. Tentu saja raungan ini bikin kaget orang yang ada didekat tempat interogasi. Aku yang kebetulan sedang melintas dan tidak jauh dari suara lengkingan pastilah ikut kaget. Lalu coba mencuri lihat ke arah asal suara raungan orang yang minta ampun. Gerombolan capung yang sedang bercengkerama, bersendagurau di sekitar halaman pendopo bekas kabupaten tak kalah kaget. Mereka pada terbitit-birit terbang ke segala arah. Terbang kesana-kemari. Tetapi ada beberapa capung… Capung Merah, Capung Macan yang tubuhnya berwarna lerek kuning hitam atau Kinjeng (Jw) Dom/Jarum yang kembali lagi dan mendekat ke arah suara tadi. Seperti halnya aku, mungkin mereka penasaran juga ingin tahu suara apa gerangan yang membuat rekan-rekannya sesama capung terbirit – birit menjauh..

Astaghfiurulah……. seorang laki-laki tergolek di lantai, darah mengucur dari kepalanya yang dihantam kursi kayu, kulit kepalanya sobek. Bajunya dipenuhi cipratan darahnya sendiri Seorang petugas yang mengenakan pakaian seragam yang memukul kepala laki-laki tersebut bediri dengan gagahnya di dhadapan laki-laki tersebut.Sipesakitan sempat meruang-raung, tentu karena sangat kesakitan, sebentar saja. Sebelum akhirnya terjatuh, pingsan. Laki laki yang kira-kira belum berumur 50 tahun itu lantas digotong, tubuhnya setengah diseret dibawa masuk ke dalam gedung bekas kediaman bupati jaman kolonial.

Selain memanfaatkan bekas pendopo yang waktu itu hanya tersisa lantainya sebagai tempat interogasi. gedung bekas kediaman bupati peninggalan Belanda itu juga di jadikan ruang interogasi bagi tahanan politik simpatisan PKI atau orang-orang yang disangka PKI. Ini kali kedua kota kecil ini dijadikan kamp konsentrasi tahanan pemberontak, Sampai tahun 1962an, kota kecamatan ini pernah dijadikan kamp konsentrasi tahanan pemberontak PRRI dan Permesta. Tapi jumlah tahanan PRRI/Permesta tidak sebanyak tahanasn politik PKI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline