Kelakar Politik (2)
Apa benar, kemenangan Joko Widodo dalam pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu (DKI) Jakarta yang diusung PDIP, dan kemudian mengantar mantan Wali Kota Solo menjadi Gubernur di Ibu Kota Negara Jakarta adalah kemenangan PDIP? Partai oposan pimpinan Megawati Soekarnoputri. Tidak! Atau sedikit lebih lunak bukan. Kemenangan Jokowi itu bukan berarti kemenangan PDI Perjuangan. Jawaban menyakitkan bagi petinggi dan simpatisan PDIP. Tapi tidak usah marah karena ini hanya kelakar politik.
Akan tetapi diakui atau tidak, ini adalah kenyataan bahwa peran para relawan dan simpatisan Jokowi di berbagai pelosok Jakarta yang menginginkan perubahan kepemimpinan di ibu kota negara itu yang sesungguhnya sangat besar dibanding mesin politik PDIP. Merekalah yang mengantarkan kemenangan mantan Walikota Solo menjadi orang nomor satu di Ibu Kota Negara.
Siapa pun yang berjasa mendudukan Jokowi di kursi Gubernur DKI menumbuhkan optimisme yang sangat besar para petinggi partai yang lahir dalam konggres di Bali tahun 1998. Namun sebaliknya adalah suatu kekeliruan besar, apabila petinggi-petinggi PDIP bersikukuh, kemenangan Cagub DKI yang diusung PDIP adalah kemenangan mutlak partai! Sehingga dalam kaitan dengan pemilihan umum calon anggota legislatif (Pemiluleg) dan Pemilu Calon dan Wakil Presiden tidak perlu menetapkan Capres sebelum penyelenggaraan Pemiluleg akan memperoleh kemenangan besar tapi justru sebaliknya. Terlebih apabila PDIP tidak mencalonkan Jokowi sebagai Capres sebelum 9 April seperti dikendaki pendukung-pendukungnya. Berbagai kalangan menganggap partai yang dipimpin Megawati melakukan blunder besar apabila tidak menetapkan capres sebelum Pemilu!
Dan senyatanya para petinggi partai banteng ini sangat optimis dan mempunyai kepercayaan diri yang sangat besar sehingga tidak perlu menetapkan capres sebelum Pemilu. Dan sampai menjelang akhir Februari 2014 atau kurang sekitar satu bulan dari hari H pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014, PDIP (baca Megawati) belum menetapkan siapa yang akan jadi capres. Bahkan dalam berbagai kesempatan tersirat Megawati akan menetapkan capres setelah Pemilu. Keputusan ini pun tidak salah karena konggres PDIP telah memberikan kewenangan penuh kepada Megawati sebagai ketua umum partai untuk menetapkan siapa yang akan jadi capres?.
Sikap PDIP ini tentu bertolak belakang dengan keinginan simpatisan dan para relawan Jokowi, bahkan kalangan PDIP di daerah yang menghendaki Megawati menetapkan capres sebelum Pemilu Legislatif. Sosok yang dikehendaki pendukung dan relawan Jokowi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia tiada lain adalah mantan Walikota Solo tersebut!
Akan tetapi sampai saat ini Megawati dengan kewenangannya yang begitu besar, bersikukuh belum akan menetapkan capres. Ia baru akan mengumumkan capres PDIP setelah Pemilu. Sikap keukeh Mega tidaklah salah ini karena oleh konggres ia sudah diberi kewenangan tunggal untuk menetapkan capres. Sebagai pemegang tampuk pimpinan tertinggi partai berlambang moncong putih Mega tentu punya harga diri, martabat dan juga gengsi dan ingin membuktikan bahwa tanpa Jokowi sebagai Capres, PDIP akan meraih kemenangan besar dalam Pemilu Legislatif. "Masa sih saya kalah pamor dari Jokowi," begitu kira-kira ungkapan Megawati .
Kepercayaan diri tersebut membuncah setelah Gubernur di Jawa yakni DKI Jakarta dan Jawa Tengah, dan beberapa kepala daerah tingkat II dimenangi oleh kader-kader PDIP. Kemenangan kader partai tersebut sepertinya dijadikan barometer betapa partai ini sedang berada dalam puncak performanya, setelah kalah dari partai Demokrat dalam Pemilu 2009. Optimisme yang begitu besar inilah yang tampaknya dijadikan tolak ukur, dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Capres dan Cawapres yang tinggal sekitar satu bulan lagi PDIP akan memperoleh kemenangan besar sehingga tidak perlu berkoalisi dengan partai lain.
Optimisme ini pulalah yang oleh banyak kalangan disebut-sebut sebagai salah satu pertimbangan oleh Magawati untuk mencalonkan diri lagi sebagai Capres dari PDIP karena memang ia tentu masih mempunyai ambisi untuk jadi presiden. Apabila sinyaleman ini benar justru akan menjadi bumerang bagi Megawati karena banyak orang melihat dan menganggap ia sebagai THE OLD HAS BEEN yang akan kalah dalam perebutan kursi capres. Sebab kepemimpinan dan kemampuannya sebagai Presiden RI ke 5 terbukti kalah apabila dibanding dengan Presiden kedua Indonesia Soeharto mau pun Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yoedoyono.
Ungkapan bernada mengejek muncul di tengah masyarakat yang menyatakan, "Apalagi jika yang dicalonkan sebagai capres atau cawapres adalah Puan Maharani. Bahkan kalau pun dia dipasangkan dengan Ical (Aburizal Bakrie) atau pun Capres Demokrat lainnya, dia akan kalah karena rakyat melihat dia sebagai kartu mati. Dan apabila PDIP benar-benar mencalonkan kembali Megawati atau Puan Maharani maka ini berarti BEGINNING OF THE END untuk PDIP. (terdapat dalam tulisan kelakar politik sebelumnya)
Kekalahan yang dialami PDIP tidak hanya disebabkan oleh pencalonan Megawati apalagi Puan, akan tetapi juga apabila partai oposan ini tidak menetapkan Jokowi sebagai capres sebelum 9 April 2014. Suara-suara di akar rumput, dukungan simpatisan dan relawan di dunia maya serta media sosial menunjukkan dukungan yang luar biasa terhadap Gubernur DKI Jakarta ini sebagai Capres. Walikota Solo yang mampu mengangkat performa PDIP justru akan berbalik menjadi kartu mati bagi partai pimpinan Megawati ini.