Lihat ke Halaman Asli

Himawan

https://himfiles.blogspot.com/ ....... https://opensea.io/himpersada

HIMpersada20: 10-16 Oktober 2021 (Kilas Balik Musik 2005-2014: Bagian 12)

Diperbarui: 11 Oktober 2021   07:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. HIMPersada

2010 : # Music (&) marketing

Baru-baru ini penulis mengunjungi sebuah toko kaset yang sebenarnya sih lebih dominan diisi oleh etalase CD dan DVD. Suasananya relatif sepi, paling pembeli yang datang pun sekedar yang ingin mengkoleksi album2 lama dalam format digital. Beda dengan yang penulis alami di era 80-90an, ketika saat itu videoklip dan chart lagu menjadi patokan kapan sebuah album baru dirilis dan mulai diburu penggemarnya.

Kini media pita kaset bergeser ke format digital yang bisa menyimpan banyak lagu. Tinggal colok di usb, ratusan lagu siap diputar. Bila di luar negeri kita mengenal iTunes, nach di pasar musik nasional kita mulai diperkenalkan pembelian lagu online secara legal lewat situs langitmusik. Modifikasi trik penjualan lainnya adalah jual konten mini album lewat bundling handphone. Setahu penulis, dengan sistem begini kebanyakan mengambil model jual putus alias tanpa adanya kewajiban sang provider handphone membayar royalti lagi, jadi yach dibayar per lagu dan fee sebagai brand ambassador doank.

Tokh, tidak semua orang sekarang ini memiliki player digital. Makanya untuk pemasaran di daerah, ada saja label yang tetap memproduksi kaset secara terbatas. Selain via jalur distribusi toko, tur konser, titip jual di jaringan pasar retail, sampai memanfaatkan mbak kasir di rumah makan yang sekaligus merangkap salesman materi fisik pun dilakoni, he3... Yang penting disini adalah saat menjual materi fisik, mestinya ada benefit tambahan bagi pembeli, baik dalam bentuk imbuhan pemberian merchandise langka maupun undian ketemu sang artis misalnya.

Dan yang juga penulis lihat menjadi trend belakangan ini adalah mendayagunakan media jejaring sosial sebagai alat promo yang relatif efisien, kalau efektif ? Nach, disinilah celah yang masih perlu dieksplorasi lagi oleh tim pemasaran label. Selama ini mereka baru sebatas baru mengajak para penggemar untuk gabung ke adres FB atau follow Twitter mereka, tapi belum sampai ke taraf mengelola komunitasnya dengan baik yang secara tak disadari, mereka bisa menjadi agen "word of mouth" yang mumpuni. Untuk soal ini, coba dech belajar caranya ke komunitas pengguna mobil.

2010 : # Think ( and do ) online

Dasar kau keong racun / baru kenal udah ngajak tidur... Cuplikan lagu diatas mendadak populer pertama kali menembus kancah blantika musik tanah air, bukan karena cengkok dan notasi tembangnya, melainkan disebabkan aksi "tak sengaja" duo remaja bernama Sinta dan Jojo. Itupun bukan suara mereka, tapi sekedar lipsynch dengan atraksi visual yang menggemaskan banyak orang. Dan ternyata tampilan gimmick seperti itu disuka banyak orang dan menjadi perbincangan publik, tapi tokh mereka tahu diri untuk tidak memaksakan diri sebagai penyanyi.

Justru yang dikenal pecinta musik tanah air sebagai artis "pendatang baru keluaran YouTube" adalah trio Gamal, Audrey, & Cantika yang lagunya kini tengah wara-wiri di airplay radio. Juga kabarnya ada orang Indonesia yang tahun depan bakal rilis singel khusus pasar Amerika, gara2 ada produser musik mancanegara yang tertarik dengan kemampuan vokalnya saat bersenandung di YouTube. Tak lupa, masih ingat dengan orang bule ( kalau tak salah asal Perancis ) yang dengan pede-nya membawakan lagu berbahasa Indonesia karangannya sendiri dengan tampilan agak norak, he3...

Mengacu pada trend seperti ini, bisa dibilang punya lagu bagus perlu didongkrak dengan jalur promosi visual yang bagus untuk segmen yang sesuai karakter imej yang ingin dibangun. CV tentang daftar pengalaman mengisi acara di kafe2 elite seolah menjadi cerita usang. Dari hasil dengeran yang penulis dapat, beberapa label sepertinya tertarik pula untuk membangun divisi pembuatan videoklip, sebagai sinergi atas promo media dan manajemen artis. Sori sori sori jeck... harga produksi videoklip tidaklah murah, apalagi kalau menuntut ada konsep spesifik yang pernah-perniknya bikin ribet. Kalau yang mau gampang, yach "ditempelkan" saja sebagai soundtrack sinetron kejar tayang, tiap hari pasti diputer kalau sinetronnya nggak tamat2 atau ost-nya berganti tema.

Justin Bieber Effect. Yup, dengan semakin banyaknya operator yang mulai menawarkan akses internet kecepatan tinggi dengan harga relatif terjangkau, kesempatan untuk menarsiskan diri di jagat maya tampaknya bakal kian menjadi trend. Upload cukup sekali, lalu tinggal di-tag di berbagai situs jejaring sosial, maka siap2 dilirik produser. Tentu saja untuk masuk ke industri musik, modal suara bagus tidak lagi cukup, perlu juga materi yang cocok dengan pasar dan kemasan penampilan yang layak jual. Untuk contoh kasus ini, tengoklah fenomena lagu yang cukup "meracuni" tempat2 karaoke belakangan ini : cinta satu malam J

Eittss... tapi tunggu dulu, 2 contoh lagu diatas khan bolehlah tergolong fenomenal, tapi untuk dengaran penikmat radio seperti penulis ? Atau akankah para MD radio yang umumnya termasuk segmented berani memutarkan lagu2 dengen genre ( yang bagi sebagian orang dianggap cocok dengan jenis musik menengah kebawah yang sering dkatikan dengan stigma negatif : kurang berkualitas ) seperti itu ke dalam playlist-nya ?

2010 : # Radio

More than just music. Yup, demikian tagline TrijayaFM yang memposisikan dirinya sebagai stasiun radio para professional muda. Konten radio saat ini memang tidak hanya soal musik, namun harus diakui dengan "keterbatasan" media radio yang mengandalkan kekuatan audio, musik tetaplah unsur nomor satu dalam menjalin komunikasi dengan pendengarnya, meski ada selingan talkshow, news, bahkan sampai drama radio. Dan yang juga membuat unik adalah satu lagu yang sama bisa dipersepsikan berbeda bila diputar oleh stasiun radio yang berbeda.

Bila di edisi tahun lalu, penulis mengangkat tema seputar "mengapa radio2 Jakarta lebih lambat trend airplay-nya ketimbang radio2 daerah", maka kali ini berdasarkan hasil interviu beberapa pemerhati radio, penulis tertarik membahas ekspansi radio kedepannya bakal seperti apa. Berkaca pada gerak bisnis label yang kini tak lagi sekedar mengurus promo album musisi berikut penjualan rekaman, namun juga mengkombinasikannya dengan usaha RBT, manajemen artis, blocking media, sampai ke penjualan hak cipta untuk pihak luar negeri, radio pun sebenarnya tidak melulu sebatas menjadi saluran pemutar lagu semata.

Menurut pendengaran penulis, yang tengah menjadi gejala umum di radio2 Jakarta ini adalah kecenderungan mengekor pada konsep "hits player", saling menunggu antar radio2 lain kira2 lagu apa yang bakal ngehits. Dulu di era 90an dengan menjamurnya band2 indie, justru banyak radio yang "meluangkan" waktunya untuk menjadi yang paling duluan untuk mengerek lagu menjadi hits. Entah karena MD-nya terlalu sibuk atau kebanyakan materi, sehingga proses seleksi itu akhirnya diserahkan pada pasar, antara lain tergantung lagu apa yang disodorkan oleh tim promo label maupun peringkat RBT. Akhirnya, jangan salah kalau ada stigma bahwa independensi radio2 ibukota tidak lagi berpihak pada mutu dan segmen pendegarnya, tetapi pada tekanan industri musik yang seolah tidak kelihatan namun terasa cengkeramannya.

Seiring penjualan gadget canggih yang mengakomodasi operator selular untuk lebih berlari menyediakan koneksi internet yang makin cepat, maka jangkauan radio2 tidak lagi berkutat terbatas di kota mana stasiun tersebut bersiaran. Sebagai contoh, sambil mencari2 berita di jagat maya, penulis pun memperlengkapi hiburan dengan mendengarkan radio2 luar Jakarta secara online, diantaranya : NagaswaraFM Bogor, dan 3 radio Bandung ( MGTFM101.1, RaseFM102.3, dan ArdanFM105.9 ). Dengan kecepatan maksimum 512 kbps, meski hasil streaming kadang tidak mulus, namun dari situ kita dapat melihat kompetisi radio tidak lagi dibatasi oleh sekat kedaerahan.

Tim promo label pun masih melihat kekuatan potensi radio ini yang lebih cepat penetrasinya dalam melihat trend musik apa yang digemari, beda dengan katakanlah acara musik di televisi yang lebih dominan unsur komersialnya. Radio masih menjadi tolok ukur asal diberdayakan dengan tepat. Adanya rumor negative yang menyatakan bahwa beberapa susunan peringkat chart mingguan bisa dibeli label untuk mendongkrak popularitas sebuah lagu harus menjadi cermin berbagai jaringan radio untuk bisa survive menampilkan identitasnya ditengah kemungkinan "intimidasi" perangkat industri musik tertentu yang memakai cara2 yang tidak beretika.

2010 : # Awards

Bagaimana menghargai pencapaian prestasi musisi dalam kurun waktu tertentu ? Dari tayangan impor, kita bisa mengambil contoh betapa bervariasinya jenis penghargaan yang mereka gelar, mulai dari : Grammy Awards, American Music Awards, sampai MTV Music Awards. Lha, dalam lingkup lokal kita ? Yang masih eksis sekarang, paling hanya AMI Awards dan MTV Indonesia Music Awards. Oh, ya tak lupa ada juga ajang yang diselenggarakan menurut versi stasiun tv, seperti : RCTI Dahsyat Awards dan SCTV Music Awards. 10-20 tahun yang lalu kita punya banyak acara semacam itu mulai dari yang berdasarkan kategori pita kaset ( BASF Awards dan HDX Awards ), kategori videoklip ( VMI ), kategori airplay dan kompilasi chart ( Clear Top10 ).

Di penghujung bulan Desember 2010 ini setidaknya ada dua ajang awards yang dikelola dengan pendekatan yang berbeda. Tersebutlah Nagaswara Awards yang memberi penghargaan atas pencapaian prestasi para musisi yang bernaung di label tersebut. Juga penghargaan untuk 50 penyanyi yang dianggap sebagai "the greatest singers" versi majalah Rolling Stone Indonesia. Diluar itu, apresiasi banyak digelar dalam bentuk konser solo, entah itu sebagai bukti dedikasi kiprahnya dalam karir musik maupun berbarengan dengan launching album baru.

Catatan penulis mengenai berbagai awards disini adalah adanya jarak antara penilaian "bagus" menurut dewan juri dengan ekspetasi masyarakat. Benturan antara yang "terbaik" versus "terfavorit" menjadi ukuran yang kerap diperdebatkan. Belum lagi ke soal pengkategorian lagu2 yang juga tak luput menuai kontroversi. Disamping itu dengan tampilnya beberapa musisi tertentu yang sering menjadi langganan nominasi menyisakan pertanyaan : sebegitukah minimnyakah artis yang dianggap "bermutu" ?

Bersambung .......

 

Disclaimer : 

Weekly-chart yang saya buat ini bersifat subyektif adanya ( tanpa pengaruh endorse label maupun tim manajemen artis manapun ), jadi kalau ada beberapa tembang favorit anda yang mungkin tidak ada di daftar tangga lagu ini, harap maklum adanya. Namun tiap minggunya, saya tetap pantau juga beberapa chart radio yang menjadi referensi materi dalam meng-update penyusunan lagunya. Terima kasih.

 

Kritik, kontak & kerjasama : jukeboxlist@yahoo.co.id




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline