Lihat ke Halaman Asli

Matrimony Lesmana

Tukang Sosiologi Budaya

Kerbau Pergi Kubangan Tinggal, Hukum Tanah Adat Minangkabau

Diperbarui: 15 Maret 2020   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Istana Pagaruyung/ dokumentasi pribadi)

Ada satu negeri di mana hukum di masyarakat diungkapkan dengan bahasa tinggi, yaitu dengan pepatah. Di negeri ini silsilah keluarga diturunkan melalui garis keturunan ibu - matrilineal. Masyarakat di negeri ini tercatat sebagai masyarakat matrilineal terbesar di dunia. Negeri ini disebut orang dengan nama Minangkabau.

Secara adminsitratif sebagian besar negeri ini berada di dalam propinsi Sumatera Barat. Tapi luas dan penyebaran budayanya melebihi batas propinsi tersebut, bahkan hingga ke negeri jiran Malaysia, tepatnya ke Negeri Sembilan. Wajar demikian, karena tradisi warga Minangkabau, terutama kaum pria, untuk merantau keluar kampung halamannnya.

Dalam hal kepemilikan harta benda, seperti rumah dan tanah, budaya Alam Minangkabau mempunyai hukum yang berbeda dengan kebanyakan adat-istiadat di daerah lain di Indonesia. Seperti disebut di atas, bahwa silsilah adalah turunan garis keturunan ibu, dan demikianlah juga hukum pindah hak melalui waris senada dengannya, yaitu diturunkan lewat ibu kepada anak perempuannya. Bila satu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka akan diturunkan kepada kemenakan perempuan dari saudari kandung.

Tapi ada kalanya situasi mendorong perpindahan hak, terutama hak atas tanah. Ada satu dasar hukum adat yang berkenaan dengan urusan perpindahan hak tanah, hukum itu berbunyi "kabau pai kubangan tingga" - kerbau pergi kubangan tinggal.

Berikut ringkasan dari hasil penelitian lapangan pada tahun 2007. Penelitian ini dilakukan di sebuah ranah rantau bernama Kubuang Tigo Baleh, tepatnya di Nagari Solok, Salayo, Gantuang Ciri dan Panyakalan, dan dua nagari di luar ranah ini yaitu Nagari Gauang dan Koto Baru.

Penelitian ini kebetulan bertemakan ketahanan adat terhadap pemekaran atau pembangunan perkotaan lewat kebijakan adat mengenai penggunaan hak atas tanah kaum. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara kualitatif pada segmen pengambil keputusan, seperti penghulu, wali nagari dan anggota dewan Kerapatan Adat Nagari.

Sedikit menyinggung nama ranah Kubuang Tigo Baleh. Menurut cerita sesepuh dan pemuka-pemuka adat yang diwawancarai nama ranah ini berasal dari perintah raja Pagaruyung untuk mengusir tiga belas datuk. Mereka pada saat itu tidak mau tunduk pada politik feodal kerajaan. Maka raja berkata, "ku buang tigo baleh (datuk-datuk ini)", artinya aku usir tiga belas orang datuk-datuk ini.

Dengan pengusiran ini pergilah ke tiga belas datuk ini keluar wilayah darek dengan gunung Talang sebagai patokan. Rombongan mereka berhenti di satu daerah landai setelah melewati danau Singkarak dan menetap di sana. Daerah tersebut kemungkinan besar Kota dan Kabupaten Solok sekarang. Sayangnya, sementara ini belum dapat ditentukan dengan pasti kapan pengusiran ini terjadi, atau siapa raja Pagaruyung yang berkuasa saat itu.

"Kabau Pai Kubangan Tingga"

Kembali ke hukum tanah adat kabau pai kubangan tingga. Pepatah ini bermakna: kerbau mana saja bisa datang dan menggunakan sebuah kubangan, tapi setelah selesai diggunakan kubangan tadi tidak bisa ikut dibawa-bawa.

Pertama jelas di sini, bahwa tidak terdapat kemungkinan secara adat untuk memonopoli penggunaan tanah kaum oleh satu individu. Singkatnya pindah hak dengan cara membeli secara adat sudah tidak dimungkinkan. Tanah yang dapat dijual adalah tanah bersertifikat. Dan tanah kaum adat bersertifikat pada waktu itu disebut-sebut menjadi sumber utama sengketa tanah di dalam keluarga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline