[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Sejumlah kursi anggota dewan terlihat kosong saat Sidang Paripurna ke 19 di Gedung Nusantara II, Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/4/2013) / Kompasiana (Kompas.com, Raditya Helabumi)"][/caption]
Sesungguhnya, setiap perempuan dijamin haknya dalam setiap
aspek kehidupan, termasuk berpolitik atas dasar persamaan
dengan lelaki, yaitu
Hak untuk memilih dan dipilih
Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik dan implementasinya
Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan
Berhak berpartisipasi dalam organisasi2 dan perkumpulan2 non pemerintah yg berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik Negara.
KONVENSI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
(Convention the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women/CEDAW)
Resiko demokrasi adalah kesetaraan dan pembebasan pendapat kepada siapa saja mereka yang hidup dan berkembang dalam sitem tersebut. Begitu halnya dengan politik. Politik wilayah kepentingan atas kekuasan yang membawa misi wakil dalam upaya pencapaian kekuasaannya juga bersifat setara dalam hal demokrasi, tidak dibatasi oleh Ras, Suku, Adat ataupun Sex. Perempuan dalam hal ini menjadi focus yang dibahas terkait kondisi perpolitikan perempuan di Indonesia hari ini.
Regulasi Hukum Perempuan dalam Hak politik diatur dalam banyak Undang-Undang/Peraturan Negara , beberapa diantaranya adalah Pasal 27 UUD 1945, Konvensi Hak Politik Perempuan (New York) UU No. 68 tahun 1958, UU No. 58 tahun 1967 tentang Hak-hak Politik Perempuan, UU RI No. 7/1984 tentang Ratifikasi CEDAW, Deklarasi Beijing tahun 1995 tentang kouta 30% bagi perempuan di parlemen dan Deklarasi Beijing Plus tahun 2000 tentang 50 % perempuan di Parlemen, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Rekomendasi Umum Konvensi CEDAW No.23/25 tahun1999 tentang Afirmativ Action dan Inpers RI No.09/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender, UU Pemilu RI no. 8 tahun 2012 dan UU Parpol RI No. 2 tahun 2012.
Peraturan hukum tersebut terbentuk atas evaluasi politik Indonesia yang dalam hal kuota atau jumlah perempuan dalam partisipasinya belum terakomodir dengan baik. Tampuk kekuasan yang selama ini difungsikan dalam perannya belum menyeimbangkan antara kebutuhan public. Padahal politik adalah urusan bersama, bukan hanya laki-laki atau perempuan. Akibat dari kurangnya partisipasi perempuan dalam parlemen, adalah ketimpangan pemikiran dalam hal pemutusan kebijakan yang diperuntukan atas nama kepentingan publik. Secara logika jelas ini menjadi masalah, bahwa ketika perumus dan pemutus kebijakan tidak berada pada titik yang seimbang antara perempuan dan laki-laki akan berakibat bias dan merugikan salah satu pihak didalamnya. Maka keikutsertaan perempuan dalam wadah parlemen menjadi penting.
Kesepakatan atas keterlibatan perempuan dalam kursi politik yang pada awalnya dimulai dengan kuota minimal 30% adalah sebuah bentuk aktualisasi sistem demokrasi yang digunakan hari ini. Hal ini lebih spesifik diatur lagi dalam UU Partai Politik No. 02/2012, dengan artian melihat fungsi parta sebagai ruang pendidikan politik dan pengembangan skill kepemimpinan, maka setiap partai wajib menyediakan ruang 30% bagi perempuan untuk mengikuti proses kaderisasi pendidikan politik dipartai.
Hal ini pun tidak menjadi penyelesai ternyata. Ketersediaan kursi parlemen bagi perempuan tidak menjadi mudah untuk dipenuhi. Hari ini saja, masih 18% kursi yang terisi oleh perempuan, meski terjadi kenaikan 2% dibanding periode lalu namun hal ini pun kemudian juga masih mengalami evaluasi besar-besaran. Keterfokusan atas pemenuhan kuota 30% ternyata secara kualitas belum menjawab landasan awal lahir dan dibentuknya peraturan tersebut. Kondisinya terlihat bahwa 18% kursi parlemen yang telah diisi berasal dari 3 element perempuan yaitu, elit perempuan (istri pejabat atau saudara laki-laki yang menjadi pejabat), Pengusaha Perempuan dan Selebritis Perempuan. Ini menjadi hal besar yang perlu dikoreksi apakah perempuan yang menjadi wakil diparlemen telah membawa kepentingan perempuan didalamnya? Apa yang mereka pahami tentang kondisi perempuan, mengingat latar belakang yang jauh api daripada panggang tersebut?
Keterwakilan bukan hanya sebatas pemenuhan atas kouta saja, keterwakilan juga harus bicara tentang kepentingan yang dibawa dalam kesepakatan kuota tersebut. Representasi politik perempuan membicarakan tentang seberapa berpengaruhnya perempuan dalam tampuk kekuasaan politik yang dimilikinya. Seperti yang disampikn oleh Mbak Shelly dalam sebuah forum pendidikan Feminis di kalyanamitra rabu lalu (23/10), bahwa kepemimpinan yang mengatasnamakan wakil itu bersyarat, mereka yang tidak sesuai dengan persyaratan silahkan mundur dan keluar dari kompetisi politik, terlepas mereka perempuan atau laki-laki.
Evaluasi juga dilakukan pada system yang kita pijak saat ini. Konsepsi demokarasi yang kita anut ternyata memiliki anomaly pada procedural eksekutifnya. Politik yang harusnya dilangsungkan dalam konsep trush dan delegate, justru malah dilanggar dengan konsep barunya eksekutif, direct. Perlu pula untuk kemudian melakukan pembenahan atas konsep representation police (mainsbrige) yang memuat promissory, antisipatory, gyroscopy, surigucy yang didalamnya ternyata hanya normative dan sekedar bualan retorika pemilik kuasa saja.
Pelangsungan representasi politik perempuan yang seharusnya memang berada pada tubuh regenerasi sebagai dasar pendidikan politik awal. Kemudian keterwakilan perempuan dalam kursi parlemen tidak hanya cukup dengan pendidikan politik saja, mereka pun harus membawa bekal setidak-tidaknya pendidikan gender sebagai dasar awal kerja mereka di parlemen. Karena hal itu yang membedakan antara ketrwakilan politik perempuan dan keterwakilan umum. Jika tidak maka sama saja mereka dengan yang lain, hanya mebawa keterwakilan politik saja, tapi tidak membawa keterwakilan politik perempuan dalam rangka pencapaian kepentingan perempun untuk kesetaraannya.
Penulis menyimpulakan bahwa politik perempuan hari ini adalah sebuah politik yang secara aplikatif pelaksanaan dilapangannya hanya dilangsungnya sebatas proseduralnya saja, namun secara subtantif belum sama sekali menyentuh misi besar perumusan adanya perempuan dalam kursi parlemen hari ini.
Secara prosedural yang telah ditetapkan, perempuan hari ini memang dilibatkan dalam aktifitas politik baik itu di parta ataupun di parlemen. Hingga sempat tersuara pertanyaan apakah kemudian perempuan harus membentuk sebuah partai perempuan terlebih dahulu agar kemudian dapat menduduki kursi parlemen secara representative? Pertanyaan ini muncul akibat evaluasi kita terhadap kerja partai yang hari ini ternyata belum dengan baik melakukan perngkaderan politk khusus bagi perempuan yang akan menduduki kursi parlement. Bukan kemudian menjadikan perempuan istimewa tapi kebutuhan atas perlakuan khusus ini dilakukan agar perempuan dapat kemudian mengejar ketertinggalan perempuan dalam kehidupan politik dan berpolitiknya diparlemen.
Lalu kemudian muncul pertanyaan menarik, untuk apa perempuan duduk diparlement dan berpolitik? Kondisi perempuan yang masih berada dalam tirani diskriminasi dan kekerasan menyebabkan kita untuk melakukan sebuah upaya secara hukum dan kebijakan yang dengan tegas mengatur isu perempuan hari ini. Melalu parlemen perempuan diminta untuk bersuara menyampaiakn ide politisnya yang berperspektif gender dan melindungi perempuan korban dalam penangan dan pencegahan kasus perempuan yang semakin lama semakin menjadi polemik dimasyarakat. Karena dalam rangka menyukseskan misi gerakan untuk bebas dari tirani kekerasan dan diskriminasi ruang politik menjadi penting sebagai strategi gerak perempuan dalam pengatasan masalah didalamnya.
Tulisan ini didedikasikan untuk perempuan, dalam rangka
menyambut pesta demokrasi 2014 .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H