Terhitung sejak 20 Oktober 2014, era pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo resmi telah selesai dijalankan. Terlepas dari banyaknya permasalah perekonomian yang berlalu-lalang di tanah air, tulisan ini berfokus kepada salah satu isu krusial dalam ekonomi suatu negara, yaitu stabilitas nilai tukar ("kurs").
Dilihat dari sejarah era pemerintahan Presiden Indonesia sebelumnya (Gambar 1), hal yang patut digarisbawahi adalah pelemahan nilai tukar rupiah (depresiasi) yang terjadi di era pemerintahan Jokowi memiliki besaran yang cukup tinggi (tertinggi kedua setelah era pemerintahan Gusdur). Pelemahan ini jauh lebih tinggi daripada dua era pemerintahan sebelumnya (SBY-JK dan SBY-Boediono). Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dan apa pula yang menyebabkan pelemahan ini begitu kuat dibanding era-era pemerintahan presiden sebelumnya?
Untuk menganalisis depresiasi rupiah, tulisan ini mengulas berbagai faktor yang mendorong fluktuasi rupiah dari segi eksternal dan internal. Dari segi eksternal, tulisan ini menganalisis pengaruh harga minyak kelapa sawit dan tingkat suku bunga acuan the Fed terhadap pelemahan nilai tukar. Selanjutnya, dari segi internal, faktor pendorong fluktuasi rupiah tercermin dari tingkat produktivitas Indonesia yang rendah. Hal ini tercermin dari kondisi transaksi berjalan yang defisit.
Faktor Eksternal: Penurunan Harga Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil-CPO)
Salah satu hal penting yang cukup mempengaruhi perekonomian Indonesia di bawah era kepemimpinan Jokowi adalah jatuhnya harga minyak kelapa sawit di Indonesia yang terjadi pada kuartal kedua 2014 (Gambar 2). Pada saat itu, Indonesia sedang menghadapi guncangan ekspor yang disebabkan penurunan harga CPO yang terus kontinu dari harga semula 607.5 USD/ton pada 8 Maret 2014 hingga mencapai harga 352.2 USD/ton pada tanggal 26 Agustus 2015. Pada akhir kuartal kedua tahun 2017, harga tersebut kembali mengalami penurunan pada kisaran harga 480 USD/ton.
Banyak sekali faktor-faktor yang melandasi anjloknya penurunan harga CPO. Beberapa faktor utamanya adalah adanya penurunan pangsa permintaan negara-negara Eropa sebesar 6 persen dan Timur Tengah sebesar 17 persen yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia yang merupakan komoditas subtitusi dari CPO. Masyarakat dunia lebih memilih menggunakan minyak dunia (Brent) ketimbang CPO. Sehingga, permintaan akan CPO menjadi merosot turun dengan diikuti fluktuasi harga CPO.
Penurunan ekspor CPO ini memberikan dampak yang sangat kritis terhadap kekuatan ekspor di Indonesia. Pasalnya, ekspor di Indonesia masih ditopang oleh komoditas CPO. Dari tahun ke tahun, CPO menyumbang lebih dari 10 persen terhadap total ekspor non-migas. Maka tidak mengherankan pelemahan permintaan yang terjadi pada komoditas CPO memberikan dampak yang sangat signifikan bagi arus ekspor Indonesia. Dari Gambar 3 terlihat dampak penurunan ekspor CPO yang terjadi pada tahun 2014 berlanjut hingga tahun 2016 yang kemudian perlahan mulai menguat dikarenakan penguatan pada sektor lain.