Lihat ke Halaman Asli

HIMIESPA FEB UGM

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Membangun Industri Hulu

Diperbarui: 4 September 2019   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi FSDE

Kata kunci dari industri manufaktur adalah menciptakan nilai tambah dari mengelola barang mentah menjadi barang setengah jadi dan barang siap konsumsi. 

Hal ini yang menjelaskan bahwa industri manufaktur terdiri atas industri hulu dan industri hilir. Industri hulu menyediakan produk yang akan diselesaikan menjadi produk siap konsumsi oleh industri hilir. 

Oleh karena itu, industri hulu juga memegang peran yang tidak kalah penting dalam penciptaan nilai tambah, kuncinya adalah dengan efisiensi dan sikronisasi.

Indonesia sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang tinggi memiliki keunggulan dari sisi ketersediaan bahan baku. Namun industri hilir di Indonesia masih bergantung pada impor produk-produk bahan baku. 

Artinya perlu ada upaya untuk membangun industri hulu agar dapat mengoptimalkan penciptaan nilai tambah di dalam negeri. Sebagai contoh, industri makanan dan minuman yang merupakan penyumbang terbesar dari produk manufaktur masih banyak bergantung pada impor produk bahan baku dan bahan pelengkap. 

Kebutuhan gula rafinasi bagi industri masih sangat dominan impor, yaitu sebesar 80% dari total kebutuhan. Hal ini karena, industri gula dalam negeri belum mampu memproduksi dalam kapasitas besar dan harga serta kualitas juga masih kalah dari gula impor. 

Selain gula, kebutuhan plastik juga masih bergantung pada impor sebesar 60% dari kebutuhan industri. Industri makanan dan minuman berkontribusi sebesar 36% dari produk manufaktur non-migas dan berkontribusi sebesar 6.09% pada Produk Domestik Bruto pada 2018.

Cerita yang sedikit berbeda datang dari industri hulu tekstil. Secara kualitas dan harga produk bahan baku tekstil domestik sangat ketat bersaing dengan produk bahan baku dari China. Kinerja industri hulu dan serat benang turun karena  naiknya impor akibat kebijakan Permendag No. 64 Tahun 2017. 

Dalam kebijakan tersebut pedagang pemegang izin angka pengenal importir umum dibolehkan mengimpor kain, benang, dan serat, dan boleh diperjualbelikan. Namun di sisi lain Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.010/2019 mengenakan bea masuk anti dumping atas impor benang jenis spin drawn yarn (SDY) asal China. 

Kebijakan ini mungkin dapat melindungi industri hulu secara temporer, tetapi dengan naiknya harga SDY biaya produksi kain akan semakin mahal. Implikasinya adalah perusahaan konveksi akan lebih memilih untuk mengimpor kain dari China, apalagi ketika bea masuk impor kain adalah nol persen atau bebas bea masuk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline