Lihat ke Halaman Asli

HIMIESPA FEB UGM

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Posthumous Music: Fame After Life

Diperbarui: 9 Juni 2019   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Samuel Sitorus, Ilmu Ekonomi 2018, Staf Departemen Kajian dan Penelitian 2019.

"And then he greeted Death as an old friend, and went with him gladly, and, equals, they departed this life."

J.K. Rowling, Harry Potter and the Deathly Hallows 

Industri musik merupakan salah satu industri yang terus berkembang dan sangat adaptif terhadap perubahan zaman. Selama delapan dekade terakhir, perkembangan teknologi yang pesat telah menuntut pelaku industri untuk terus menyesuaikan diri dengan perubahan instrumen dan metode konsumen dalam menikmati sebuah karya musik. Pemantik bagi industri musik adalah momen ketika vinyl record pertama kali dikenalkan pada tahun 1948.

Keberhasilan vinyl record kemudian diikuti oleh penerus-penerusnya, seperti cassette tapes (dikenalkan oleh Phillips pada 1964), compact discs, dan terus berlanjut sampai saat ini, yang mana musik sudah disimpan dalam format digital dan didistribusikan secara daring. Perkembangan dan inovasi juga menolong keberlangsungan dari industri musik melewati waktu.

International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) dalam laporannya menunjukkan bahwa dari tahun 2014-2018, industri musik di seluruh dunia mengalami kenaikan pendapatan sekitar 33,56%. Jumlah ini didorong dengan pertumbuhan pengguna berbayar layanan musik digital yang juga mendorong pertumbuhan penerimaan dari sektor layanan musik digital sebesar 368,4%.  

Grafik 1.

Selain kemajuan teknologi dan permintaan pasar, aset lain yang dimiliki industri musik adalah sang musikus sendiri. Musikus dapat menjadi aset dan senjata utama bagi label rekaman dalam rangka meraup keuntungan, terutama ketika label rekaman mampu "menjebolkan" musikus yang kreatif dan memenuhi permintaan pasar.

Memang, biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat sang musikus dikenal tidak sedikit. Menurut Recording Industry Association of America (RIAA), label rekaman rata-rata perlu mengeluarkan US$2 juta untuk bisa "menjebolkan" seorang artis ke pasar musik internasional. Namun demikian, musikus tetaplah manusia. Oleh karena itu, kesehatan dan kondisi dari seorang musikus sangatlah penting bagi label rekaman. Namun, tekanan dan tuntutan pekerjaan terkadang memberi dampak buruk bagi kesehatan jasmani dan rohani musikus.

Hal inilah yang membuat musikus menjadi aset label rekaman yang sangat rentan. Namun, apakah benar kematian dari sang musikus merupakan akhir dari segalanya? Apakah kesuksesan sang musikus akan berakhir dan sisanya hanya kerugian bagi label rekaman semata? Tulisan ini akan berfokus pada fenomena posthumous release dalam dunia musik dengan sedikit memberikan gambaran terhadap industri musik dan kematian musikus, yang kemudian akan difokuskan dalam kemasan perspektif ekonomi dan bidang pemasaran, terutama terkait bagaimana label rekaman tidak benar-benar kehilangan aset ketika musikusnya meninggal.

Posthumous Music

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline