Lihat ke Halaman Asli

HIMIESPA FEB UGM

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Keynesian Coordination Failure Theory and Dr. Strange's Coordination Theory

Diperbarui: 4 Mei 2019   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Kezia Aquiletta dan Samuel Sitorus, Ilmu Ekonomi 2018, Staf Departemen Kajian dan Penelitian 2019

"I love you 3000."

"Avengers: Endgame" merupakan salah satu film yang sangat dinanti-nanti lantaran perannya sebagai fragmen akhir fase ketiga Marvel Cinematic Universe. Kali ini, para Avengers berusaha mengembalikan 50% populasi yang telah dilenyapkan oleh jentikan jari Thanos. Pada pekan pertama penayangannya, "Avengers: Endgame" telah menjadi film Marvel yang terlaris dengan total pendapatan sebesar 17,4 triliun rupiah, sejauh ini. Menariknya adalah salah satu penyusun alur cerita film ke-22 MCU ini dapat dianalisis dalam perspektif ilmu ekonomi, khususnya ekonomi makro. 

Keynesian Coordination Failure Model

Keynesian coordination failure model pertama kali ditelaah oleh Peter Diamond pada awal tahun 1980-an dalam Journal of Political Economy 90, berjudul "Aggregate Demand in Search Equilibrium". Keynesian coordination failure model adalah salah satu teori yang menjelaskan siklus bisnis atau fluktuasi perekonomian yang disebabkan oleh gelombang-gelombang pesimisme dan optimisme. Gelombang-gelombang pesimisme dan optimisme tersebut berasal dari pandangan pelaku-pelaku ekonomi yang sulit mengoordinasikan perilakunya sehingga menyebabkan terjadinya strategic complementarities. 

Strategic complementarities adalah afiliasi saling melengkapi antara keseluruhan pelaku ekonomi--yaitu perusahaan-perusahaan, para individu, dan pemerintah--yang cenderung mengadopsi efek bandwagon. Efek Bandwagon terjadi saat masyarakat turut melakukan kegiatan yang menurut mereka menjadi preferensi mayoritas atau pemangku posisi-posisi dominan (Schmitt-Beck, 2015). Contoh sederhana yang dapat memberi pemahaman mengenai strategic complementarities adalah hubungan antara perangkat lunak dan perangkat keras. Kuantitas perangkat lunak yang dapat dijual sebuah perusahaan sangat terikat pada kualitas dan kuantitas perangkat keras yang saat itu berada di pasar. Hubungan komplementer terwujud dalam kemudahan penjualan yang akan dialami produsen perangkat lunak saat penjualan perangkat keras mengalami peningkatan. Sebaliknya pun terjadi: saat penjualan perangkat lunak mengalami peningkatan, para produsen perangkat keras akan mengalami kemudahan dalam penjualan. Hubungan komplementer, seperti yang dipraktikan oleh perangkat lunak dan perangkat keras, umum ditemukan di perekonomian sehingga sulit bagi para produsen untuk mengoordinasi tindakan-tindakannya. 

Kesulitan dalam berkoordinasi tersebut dapat menyebabkan titik-titik ekuilibrium yang beragam (multiple equilibria), tetapi dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu keseimbangan yang "baik" dan "buruk". Ciri-ciri dari ekuilibrium "baik" adalah tingkat bunga yang rendah dan tingkat output yang tinggi. Sebaliknya, ciri-ciri ekuilibrium "buruk" adalah tingkat bunga yang tinggi dengan tingkat output yang rendah. Kedua ekuilibrium disebabkan oleh, secara berurutan, gelombang optimisme dan pesimisme. Sebagai penjelasan untuk penyebab dari kedua titik ekuilibrium pada Grafik 7, perlu diketahui bahwa strategic complementarities menyebabkan adanya increasing returns to scale: bagi setiap perusahaan, penambahan output yang dihasilkan oleh tenaga kerja (marginal product of labor) akan lebih besar daripada peningkatan jumlah tenaga kerja (quantity of labor atau employment) sendiri. Adanya increasing return to scale yang dihasilkan oleh tenaga kerja dalam fungsi produksi diilustrasikan pada Grafik 1. 

Grafik 1. Kurva Fungsi Produksi dengan Increasing Return to Scale

Selanjutnya, increasing returns to scale yang disebabkan oleh strategic complementarities membuat kurva Nd (permintaan terhadap tenaga kerja) memiliki slope yang positif seperti pada Grafik 2. Perlu diingat bahwa keputusan perusahaan untuk meminta tenaga kerja, yang dapat memaksimalkan keuntungannya, terjadi ketika marginal product labor sama dengan wage. Maka dari itu, keberadaan increasing return to scale mengakibatkan marginal product labor semakin tinggi sehingga tingkat upah (wage) pun semakin tinggi. Akibatnya, permintaan terhadap tenaga kerja akan meningkat seiring dengan naiknya upah. Pada akhirnya, kurva permintaan tenaga kerja memiliki slope yang positif.

Grafik 2. Permintaan Tenaga Kerja Aggregat dengan Increasing Return to Scale

Selanjutnya, syarat bagi coordination failure model adalah kemiringan kurva permintaan tenaga kerja lebih curam daripada kemiringan kurva penawarannya yang ditampilkan pada Grafik 3.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline