Lihat ke Halaman Asli

HIMIESPA FEB UGM

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Perkawinan Anak: Sebuah Antaseden, Konsekuen, dan Solusi

Diperbarui: 12 April 2019   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh :Erika Dwiyana Fransiska, Ilmu Ekonomi 2018, Staf Departemen Kajian dan Penelitian 2019

Oleh :Erika Dwiyana Fransiska, Ilmu Ekonomi 2018, Staf Departemen Kajian dan Penelitian 2019

Perkawinan Anak

Perkawinan anak adalah perkawinan formal maupun informal (common law marriage) yang dilakukan oleh perempuan atau laki-laki yang berusia kurang dari 18 tahun (UNICEF, 2017).

Komunitas nasional dan internasional mulai berperan dalam mengakhiri perkawinan anak karena dampak negatif dari praktik tersebut. Dampak dari perkawinan anak antara lain adalah berkurangnya kesehatan; pendidikan; dan pendapatan angkatan kerja. 

Mengakhiri perkawinan anak menjadi bagian dari Sustainable Development Goals (SDGs). Kasus perkawinan anak di dunia sering terjadi pada perempuan. Berdasarkan Berkeley Economic Review, sebanyak 41.000 perempuan dalam satu hari menikah sebelum berusia 18 tahun.

Kasus perkawinan anak paling banyak terjadi di Nigeria, yaitu sebanyak  76% perempuan berusia 20 sampai 24 tahun menikah sebelum berumur 18 tahun, sedangkan di negara Republik Afrika Tengah sebanyak 68%, dan India 47% (UNICEF, 2018).

Mengapa terjadi perkawinan anak?
Perkawinan anak disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah ketidaksetaraan gender. Banyak masyarakat masih memiliki pola pikir bahwa tugas perempuan hanya sebagai istri dan ibu yang mengurus anak tanpa perlu bekerja dan belajar.

Pola pikir patriarki menyebabkan perkawinan anak sering terjadi pada perempuan. Terlebih lagi terdapat stigma buruk perempuan dewasa yang tidak menikah.

Perkawinan anak banyak dilakukan dengan alasan norma yang mengharuskan perempuan menjaga seksualitasnya. Hal ini terjadi karena banyak orang meyakini bahwa martabat keluarga akan terhormat apabila anak perempuan yang menikah masih belum pernah melakukan hubungan seksual.

Ketika terjadi kehamilan di luar perkawinan, beberapa masyarakat meyakini bahwa segera menikahkan perempuan tersebut merupakan keputusan yang paling baik untuk menjaga kehormatannya dan keluarganya.

Perkawinan anak juga terjadi dengan alasan ekonomi. Terdapat persepsi bahwa anak,  pada umumnya perempuan, hanyalah beban finansial keluarga. Keluarga tidak perlu menanggung biaya sekolah, makan dan sandang anak perempuan yang sudah kawin, karena anak perempuan tersebut akan menjadi tanggung jawab suami atau keluarga barunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline