Oleh: Drewya Cinantyan Prasasya, Ilmu Ekonomi 2017, Staf Departemen Kajian dan Penelitian, Himiespa FEB UGM
Siapa yang tidak tahu kue artis? Produk ini sudah menguasai pasar "buah tangan", yaitu pasar dengan produk oleh-oleh dari berbagai macam daerah di Indonesia. Seperti produk bernama scrummy hingga kue olahan modern yang diakulturasi dengan kue tradisional asal daerah tempat kue artis tersebut berada. Sejak tahun 2014, kue artis terus berkembang hingga saat ini sudah lebih dari 20 jenis kue artis tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Salah satu contoh kota besar yang menjadi target pasar artis-artis tersebut adalah Yogyakarta. Di kota ini, terdapat tujuh toko kue artis yang aktif memasarkan produknya masing-masing.
Dampak Perkembangan Kue Artis
Menjamurnya kue artis di Indonesia juga diikuti dengan tingginya kontribusi kuliner terhadap Produk Domestik Bruto Ekonomi Kreatif Indonesia yang sebesar 41,69%. Salah satu faktor kontribusi kuliner yang besar selain dikarenakan oleh kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, namun juga karena meningkatnya inovasi-inovasi di dunia kuliner yang salah satunya adalah kue-kue artis tersebut.
Selain itu, kehadiran kue artis tentu berdampak kepada kue tradisional seperti Wingko yang berasal dari Semarang atau kue Meranti dari Medan. Dampak pertama adalah kue artis dapat menjadi insentif bagi kue tradisional untuk memberikan hasil yang lebih baik, sehingga dapat berkompetisi dengan kumpulan kue artis. Dampak lainnya yaitu kemungkinan meredupnya bisnis tradisional akibat kue tradisional tidak dapat bersaing dengan serangan "berkelanjutan" dari kue-kue artis.
Penyebab Serangan "Berkelanjutan"
Lalu, apa yang menyebabkan serangan ini "berkelanjutan"? Jawaban dari pertanyaan tersebut dapat dilihat dari 2 sisi, yaitu dari sisi suplai dan sisi permintaan. Dari sisi suplai, kita tahu bahwa pemasok dari kue artis adalah artis itu sendiri. Keinginan untuk membuka bisnis bagi selebriti bukan sesuatu yang asing lagi. Tidak sedikit selebriti berhenti dari dunia hiburan dan beralih membuka bisnis, salah satu bisnis peralihan tersebut adalah bisnis makanan penutup. Alasan para artis membuka jenis bisnis ini didorong oleh keinginan merasa aman dalam hal pemasukan yang didapat dari pekerjaan yang mereka miliki. Rasa aman ini sesuai dengan teori Life-Cycle Hypothesis.
Life-Cycle Hypothesis adalah teori yang dikemukakan oleh Franco Modigliani pada tahun 1957. Teori ini menyatakan bahwa seorang individu berkeinginan untuk mengamankan konsumsinya, baik untuk saat ini, maupun untuk memenuhi kebutuhan di masa depan. Hal ini berujung dengan keinginan para selebriti untuk mendapatkan pendapatan yang tetap dan berkelanjutan. Oleh karena itu, selebriti memulai bisnis-bisnis tersebut untuk mempertahankan keamanan konsumsi mereka pada saat ini dan yang akan datang.
Kemudian, dari sisi permintaan. Peningkatan permintaan kue artis ditandai dengan pasar yang semakin besar. Setiap tahun selebriti tak hentinya mengeluarkan produk andalannya dan ketika produk baru debut, masyarakat dengan sigap mengantri. Adakah alasan yang mendorong masyarakat untuk terus "mengonsumsi"?
Pada dasarnya, manusia memiliki kebutuhan primer yang perlu dipenuhi dan salah satu kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pangan. Namun, kebutuhan primer dapat berubah menjadi hal yang merugikan apabila tindakan tersebut beradaptasi menjadi tindakan ekonomi yang irasional. Tindakan ekonomi irasional dapat didefinisikan menjadi setiap tindakan manusia yang dikiranya menguntungkan tetapi kenyataanya merugikan. Faktor manusia bertindak ekonomi irasional salah satunya disebabkan oleh pengaruh seorang idola.
Pengaruh dari seorang idola memberikan dampak besar terhadap permintaan sebuah produk. Contoh yang sederhana, apabila seorang siswa berasal dari Jogja sebut saja bernama Grace. Grace menggemari seorang aktor yang berasal dari korea. Lalu, aktor ini menjadi sebuah duta dari sampo khusus untuk rambut yang di warnai. Grace yang mengagumi aktor tersebut dengan mudahnya membeli sampo yang didutai oleh aktor favoritnya, meskipun rambut Grace tidak diwarnai. Contoh tersebut tentunya tidak rasional, karena Grace pada akhirnya tidak dapat menarik nilai guna dari sampo yang ia beli.