Seorang pria kulit hitam, berjas cerah mencolok, berkaca mata hitam, sepatu mengkilat, payung tertutup digamit lengan kiri, berjalan dan berpose dengan latar belakang kawasan kumuh di Brazzaville, Congo. Tempat sampah, bau menyengat, lalu orang yang menyoraki kagum.
Maxime Pivot sang pria itu, tersenyum girang, dia hanya butuh pengakuan saja. Pengakuan dari orang-orang di sekitarnya bahwa dia keren, dandy dan syukur-syukur dianggap kaya. Rasa amarah akan kenyataaan harian yang digelutinya, jadi pemantiknya. Amarah akan kemiskinan yang menggelayuti dirinya dan orang-orang sekitarnya.
Ia tak terima realitas masyarakatnya, yang lapar di tengah sumber daya melimpah, kesulitan air padahal berada di pinggiran sungai Congo. Ketidakterimaan itu, mendorongnya membalik realitas, membangun realitas-semu. Itulah La Sape. Kumpulan orang-orang yang mendewakan "busana" dan tampilan. Obsesi mereka akan merk pakaian ternama memang di luar batas. Satu potong jas bermerk mungkin berharga beberapa kali lipat upah beberapa bulan.
Anggota la sape disebut disebut sapeurs. La sape adalah singkatan dari Socit des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People. Sebuah komunitas pecinta fesyen. Biar miskin asal keren, biar lapar asal gaya, biar bodoh asal bisa belanja. Slogan-slogan para sapeurs perihal bagaimana mereka mengorientasikan hidupnya. Tentu saja setiap kultur punya "cara pandang unik" dalam memandang martabat seseorang.
Di sebuah daerah, seseorang dipandang tinggi martabatnya jika dia sudah berhaji. Maka sepanjang hidupnya, upaya keras dilakukan, termasuk menjual sawah dan ladang, untuk menjadi haji. Dia butuh pengakuan dan kebanggan saja. Di daerah lain, seseorang dianggap bermartabat di masyarakat jika menampakkan kekayaan dalam bentuk pesta undangan. Pada pesta pernikahan anaknya, atau malah cuma khitanan saja.
Mereka rela menghabiskan apa yang dipunya hanya untuk tampil seperti raja dan ratu sehari saja. Ada puas tak terperi ketika orang-orang berdecak kagum, memberikan pengakuan dan dia bisa eksis di masyarakatnya. Modal sosial utama untuk bisa diakui di komunitasnya. Kebutuhan "pengakuan" ini, eksistensi dirinya di tengah "kerumunan".
Hal itu pula menjadi salah satu penghalang program pengentasan kemiskinan di Bangladesh. Bahkan Muhammad Yunus salah seorang pendiri Grameen Bank, pemberi pinjaman kredit untuk kalangan miskin sampai harus membuat belasan komitmen bagi para peminjamnya. Ketidakberpihakan BANK besar bagi golongan lemah dan pinggiran, menjadikan mereka sasaran empuk para rentenir. Bunga yang tinggi dan mencekik semakin menjerat mereka ke dalam jurang lebih dalam.
Tanah, alat produksi, rumah terkadang tergadai dan terampas begitu saja, menjadikan mereka menjadi pengemis dan gelandangan. Di situlah peran Grameen yang dirintis Yunus. Kendati bergerak dari pemberian kredit skala kecil bagi kalangan bawah, Yunus menyadari pentingnya edukasi, edukasi dan edukasi. Pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sebenarnya.
Bagi Yunus, bantuan mikrokredit tak ada artinya sama sekali, jika para kreditur tidak mengubah cara hidupnya. Ada beberapa budaya di Bangladesh yang sebenarnya bukan bagian dari ritual agama. Yakni masalah mahar pernikahan untuk pihak laki-laki. Ini yang menjerumuskan banyak pihak keluarga perempuan ke dalam kemiskinan dan isu-isu gender lainnya.
Itu tak ada adalam praktik Islam. Kendati masyarakat menyebutnya sebagai budaya, tapi itu tak menemukan pijakan apa pun dalam ajaran agama. Tapi kan itu kultur yang melekat. Budaya yang semestinya dijunjung. Jalin berkelindan dengan tradisi dan agama.
Betul sekali, agama dan ibadah tentu saja mencuat sampai tingkat lahiriah dan ritual yang tampak. Haji, solat, kurban, puasa adalah ritual yang jasadiah. Tapi tujuannya adalah bathiniah. Ada kehaqiqian disana. Bukan daging dan darah yang sampai--dalam qurbab--tapi taqwa nya. Pakaian terbaik adalah taqwa, demikian tertulis dalam Quran suci.
Kondisi di Bangladesh sebenarnya cukup mirip dengan di sini. Masalah-masalah di level mikro tak jauh berbeda.
Bantuan apa pun hanya obat panasea semata, tanpa ada edukasi dan transformasi mental. Dari sinilah peran pendidikan di keluarga memegang kunci penting.