galunggung menjulang tegak
bawah kaki, sungai anak beranak
memanjang berkelok susuri sawah dan semak
indahnya, hilangkan resah hati nan bergejolakrumah-rumah bergerombol, lalu menjarang
beratap rumbia, bilik bambu dan kayu pinang
kala malam, lampu cempor dan halaman tak begitu terang
rindu hati pada kekasih, lalu berdendanghawa sejuk, tanah berpasir, kulit para gadis yang kapas
berkebaya, bersandal kelom, berpayung kertas
bersenandung kinanti dan kidung bermajas
diiringi nayaga di pertunjukan yang lepasseribu bukit julukan namanya
disebut juga kota resik elok tertata
berpenduduk petani, pedagang dan di bidang agama
sebagian lagi jadi perantau di ibu kota
Tasikmalaya. Bermula dari dua kata: tasik dan malaya. Tasik adalah danau, dan ada juga yang menyebut sebagai situ, dan malaya sebagai jajaran gunung-gungung. Selain itu, ada juga yang memberikan makna sebagai keusik atau pasir (tasik) yang menghampar (laya). Tapi saya sendiri cenderung kepada asal kata tumasik, dan malaya dari pamalayu (melayu), sehubungan erat dengan sejarah ekpedisi pamalayu, di masa Pati Unus. Di mana banyak sekali jejak sejarahnya di kota ini.
Pulang atau mudik adalah rutinitas tahunan yang selalu dilakoni. Tapi tidak untuk tahun ini. Semua tahu persis apa penyebabanya. Di tahun-tahun sebelumnya, rutinitas mudik dengan membawa anak dan istri adalah kesempatan untuk menerangkan asal muasal bapaknya, khususnya untuk anak-anak. Pojokan-pojokan kota, jalan-jalanan yang cenderung pendek, sudut kampung, kolam tempat berenang, sungai, situ sawah. Tempat-tempat itu semua, tempat kenangan terpahat, dengan senang hati saya menceritakannya kembali. Dan tentu saja sepetak tanah pemakaman keluarga tempat leluhur saya dikebumikan, hampir wajib dikunjungi.
Dari debu kembali ke debu, alpha-omega kehidupan, mengingat kembali sangkan paraning dumadi, adalah tema utama pulang kampung di masa lebaran. Pada bentangan waktu, ada momen di mana kita merenungi asal mula kejadian, Siapa kita sebenarnya. Menggali dan menemui jati diri. Jati diri adalah hakikat diri. Asal muasal. Sehingga mudik di masa lebaran, saya cenderung memaknainya untuk mengingat sepenggal kalimat : mulih ka jati, mulang ka asal. Kembali ke hakikat diri, berpulang ke asal muasal.
Jati diri. Frasa berkesan kuat, berbilang tafsir. Seorang artis saat diwawancara berujar, "inilah jatidiriku, kehidupanku, di mana semua kebutuhan dan hobi terpenuhi, karir yang sedang berada di puncak". Inilah aku, tapi aku yang mana?
"Hai anak Adam, apakah yang menghalangi-Ku dari berbuat terhadap kamu, padahal Aku telah menciptakan kamu dari sesuatu yang hina seperti ini (Hadits)"
Tanah liat, debu dan air yang hina adalah asal jasad kita. Kita diingatkan bahwa kita bermula dari sesuatu yang rendah. Tak layak untuk jumawa. Itulah muasal kita.
Untuk mengingat muasal ini. Bahwa kita hanya tanah yang dibentuk, kadang kita ditarik kembali ke masa silam. Masa di mana kita bermula.
Setiap orang memiliki habitat asal, kenyamanannya sendiri. Anak-anak memiliki kenginantahunan cukup besar perihal kehidupan ayahnya di masa kecil. Setiap anak terlahir dari masanya sendiri, punya zamannya sendiri. Tapi tak ada salahnya, orang tua memberikan sedikit kerangka acuan, refleksi, atas kisah orang tuanya.
Saat berkeliling bersama anak-anak di waktu liburan lebaran, di sebuah pojokan jalan kota, antara Cihideung dan HZ mustofa, saya menunjukkan tempat, ayahnya biasa berjualan. Atau lain kali, menunjukkan tempat biasa berenang. Di kali lain, bercerita tentang bukit di pinggir desa, yang sekarang menjadi perumahan, tempat biasa menatap berlama-lama gundukan-gundukan atap rumah dan petakan sawah. Saya bercerita dan bercerita, bahwa ayahnya sama dengan kebanyakan masyarakat biasa, berdagang, bertani, berjualan, menemui kesulitan demi kesulitan yang lumrah. Momen pulang kampung inilah, sebuah kesempatan yang baik untuk bercerita banyak.
Anak-anak didorong untuk menggapai potensi dirinya seoptimal mungkin, cita-cita dan bakat langit-buminya. Potensi itu terserak dalam ragam profesi, aneka bentuk pekerjaan. Tak ada yang hina. Tak ada yang lebih tinggi. Semua ragam profesi adalah terhormat. Kita semua sama di mata Dia Ta'ala, yang membedakan derajat setiap orang adalah ketaqwanya. Suatu rumusan baku. Sehingga di masa pulang kampung ini juga, saya biasa bercerita banyak kepada anak-anak . perihal para tetangga dan orang-orang yang bertegur sapa,. Ada tukang sepatu, pengayuh beca, seorang monitir, tukang jualan mainan, petani dll. Itulah habitat bapaknya.
Jatidiri, kadang dimaknai berlebihan sebagai sebuah profesi "wah", atau sebentuk "pekerjaan hebat" dan eksis secara sosial. Ia menjadi sangat duniawi. Padahal, asal jasad kita sangatlah hina, muasal kita hanya segumpal tanah. Tapi "jati", hakikat diri kita adalah Ilahi. Aspek bathin kita adalah mulia, dan kemuliaan itu terletak di seberapa terang dan lapang "hati" kita menerima, sumarah,"islam" kepada Allah Ta'ala. Bukan seberapa terhormat kita secara sosial.
Begitulah, momen pulang kampung ini, selain bercerita tentang muasal bapaknya, asal kelahiran jasadnya, sekaligus juga momen bagi saya pribadi untuk mengingat, bahwa hidup tak sekadar perkara remeh temeh sehari-hari. Tapi ada perkara besar yang harus digali, yakni, "tugas" yang harus dilakukan. Dan itu terlepas sama sekali dari profesi, dan konstruksi sosial.