Sungai ini tak bernama. Membelah sawah-sawah, ladang dan bukit. Berliku dan berkelok mengalur sulur sesuai kontur daratan. Di pinggiran sungai, aneka pohon tumbuh rindang. Ada dadap, ada waru, bencoy, nangka, pohon kersen diselingi pohon kelapa yang batangnya menjulang tinggi mendongak ke langit. Sungai kecil ini, bercabang dan bermula dari Sungai Cikunten, yang berhulu di Gunung Galunggung.
Berwarna jernih, bergemericik nyaring, mengalir pelan tapi meluncur deras di turunan yang menuju lubuk. Jika dilihat dari jauh dan di puncak bukit, sungai tak bernama ini tampak bercabang-cabang lagi menjadi selokan-selokan kecil yang mengairi sawah. Ibarat pembuluh darah yang menyebar ke tubuh dan berakhir di pembuluh kecil serupa serabut. Itu keadaan setahun lalu.
Kendati tak bernama, sungai ini disebut sungai sebelah kidul (selatan); Sunge Kidul. Istilah yang dibuat untuk membedakan secara geografis dengan sungai di utara, Cimulu.
Hari itu, seorang anak kecil tak lebih dari sepuluh tahunan berjalan gontai di pinggiran sungai. Si anak ini diberi tugas orang tuanya untuk menjaga sungapan; pertemuan antara aliran sungai dan sawah-sawah tepat di pinggirnya. Menjaga agar aliran air sungai selalu bisa mengairi beberapa petak sawahnya. Sehabis subuh dan selepas sekolah, ia selalu ke sini. Memeriksa sungapan. Memeriksa aliran air, jangan sampai tersendat dan tersumbat gara-gara batang dan daun kering.
Hari itu, raut mukanya tampak lelah dan kecewa. Ia tak habis pikir, proyek yang namanya pembangunan irigasi yang katanya untuk rakyat, menghancurkan semuanya. Sawahnya yang sempit tepat di pinggir sungai, kian menyempit. Pohon-pohon di pinggiran ditebang dan dibabat habis. Pelebaran dan normalisasi, istilah teknisnya. Air sungai tak bernama ini kini beada di bawah sawahnya. Tak lagi ada aliran air, sawahnya menjadi kering. Setahun lalu, di sebelah atas lubuk, ada pohon beringin besar.
Tepat di bawah pohon itulah ada cai nyusu, mata air lokal, yang mengalir tak pernah putus. Mata air ini mengalir lewat celah di bawah tanah dari beberapa bukit di pinggiran sungai. Mata air lokal inilah yang menjaga sawahnya tak pernah kering, di masa kemarau paling terik sekalipun.Selalu ada air, walau alirannya setitik ibu jari.
Proyek yang namanya pembangunan irigasi, menghancurkan bukit, pohon dan di area pinggirannnya. Lubuk tempat bersarang aneka ikan lele, belut dan gabus kini mendangkal. Persis turunan menuju lubuk diganti dengan semen yang memperepat aliran, sehingga arus tidak berputar lagi di sekitar lubuk tersebut. Biasanya, selepas sekolah, anak penjaga sungapan itu akan beristirahat sebentar di bawah beringin. Lalu mandi di batu besar sekitar lubuk, sambil mencari ikan. Kadang dari pinggiran sungai ia mendapatkan daun paku atau lalab-lalaban liar yang sangat nikmat dimakan dengan nasi panas dan sambal pedas. Untuk menghilangkan dahaga, ia biasa mengambil degan, kelapa muda yang pohonnya tumbuh di batas sawah dan sungai. Kini, semuanya hilang.
Ia berjalan gontai menuju kampung. Tak ada lalab-lalaban, tak ada tangkapan ikan di tangannya. Dahaga dan terasa perih di matanya, tapi lebih perih di hatinya. Apa itu pembangunan irigasi? Apa tujuannya? Ia tak begitu paham. Di benaknya, pembangunan adalah proyek bagi perangkat desa, dan motor astrea prima baru bagi Pak Kades. Baginya, pembangunan adalah rasa kehilangan akan banyak hal, terutama kehidupannya, yang membuat ayahnya terpaksa menyambi menjadi kuli proyek bangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H