Lihat ke Halaman Asli

Himawijaya

Pegiat walungan.org

Woles Aja

Diperbarui: 26 Februari 2017   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada masa dimana waktu bergerak lambat. Informasi belum melimpah. Kata-kata bijak jarang diumbar. Peristiwa dan berita tidak selalu paling aktual. Pelan, lamban dan alami.

Menginjak usia SMP, kitaran tahun 80 an akhir, ada hari yang betul-betul saya tunggu, yakni hari kamis. Hari manakala tabloid mingguan Mitra Desa terbit. Selain perpustakaan SMP yang hampir saya kunjungi setiap hari, saya biasa mencari hal-hal aktual tentang sastra dan kepenyairan di rubrik Sastra Mitra Desa. Saat itu majalah Horizon yang biasa menjadi rujukan peta sastra nasional adalah barang sangat mewah buat saya, yang bayar SPP saja sangat mahal. Saya biasanya menjalin keakraban dengan penjual koran di sebuah Toko majalah dan koran di Terminal Cilembang. Pura-putra mencari rubrik untuk kliping, saya diam-diam membaca dan membolak-balik halaman mingguan Mitra Desa. Membaca karya-karya para penyair yang saat itu sedang naik daun.

Dari rubrik inilah saya mengenal dan menyukai karya-karya Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Cecep Syamsul Hari, Saeful Badar, Agus R.Sardjono dan penyair-penyair lokal lainnya sekitaran parahyangan: Bandung, Ciamis, Tasik, Cianjur dan Garut. Itu sebelum rubrik sastra ditarik menjadi rubrik mingguan di PR , lalu berganti menjadi sisipan Khazanah.

Saya menyukai puisi tentang alam dan kehidupan pertanian. Acep Zamzam Noor dan Soni Farid adalah sosok-sosok yang piawai menatah kata, menyusun untaian kalimat dengan nuansa-nuansa alamiah yang magis, puitis dan mistis. Tagore belumlah saya kenal. Saya mengenalnya saat menginjak SMA. Paling banter puisi-puisi semisal karya Amir Hamzah, Subagio Sastrowardoyo dan Sitor Situmorang yang saya kenal.

Menikmati bait demi bait, seuntai kalimat-kalimat puitis saat itu adalah sebuah proses “menjadi”. Sebuah pengalaman langsung. Bunyi dan aura mistis sebait puisi, jejaknya akan melekat lama dan kuat, seolah irama simfoni yang mengiringi saya saat berjalan kaki menuju atau sepulang sekolah. Saat itu jalan ke sekolah ditempuh dengan berjalan kaki melewati pematang sawah dan beberapa bukit. Sehingga, menghikmati kalimat-kalimat puitis sembari mengalami persentuhan dengan hal-hal alami, memberikan kegembiraan yang meluap. Bau tanah basah, hujan yang serasa ditampik, warna jingga senja hari, capung kecil yang hinggap di putri malu yang serta merta menutup daun: pengalaman-pengalam ruang dan waktu yang memukau. Ambil contoh puisi ini :

LAGU PEJALAN LARUT

Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan

“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”

Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan waktu. Duapuluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!

“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”

Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline