Lihat ke Halaman Asli

Hilwa Nabila

Mahasiswi UIN bandung

Menggali Makna Pemilu 2024

Diperbarui: 16 Desember 2023   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Seperti yang kita ketahui keadaan politik di indonesia saat ini sangat kacau, mulai dari kurangnya integritas pemimpin, tingginya tingkat korupsi, dan kekurangan transparansi dalam pemerintahan, dan masih banyak lagi

Walaupun sebagai mahasiswa kita belum bisa banyak membantu memperbaiki politik bangsa setidaknya jangan acuh dengan pemilu mendatang tahun 2024. Masih lekat di benak saya saat dosen Komunikasi Politik, bapak Cecep Suryana memberi contoh bahwa ada mahasiswanya yang memberikan statement bahwa dirinya sudah malas dengan keadaan politik di Indonesia aplagi perihal nyoblos

Nyatanya sangat miris, mahasiswa zaman sekarang dibenturkan oleh permasalahan "kuliah aja udah susah, ngapain mikirin politik bikin pusing aja". Niat berkontribusi bagu bangsa tapi nyatanya menunda nunda sampai ujungnya "nanti aja deh kalau udah sukses", lalu sekarang fokus kuliah tanpa peduli apa yang terjadi dengan bangsanya??

Padahal semua yang kita hadapi itu menyangkut politik loh, bahkan pendidikan yang kita nikmati sekalipun. Jawaban pak cecep atas pertanyaan mahasiswanya tadi sangat memuaskan beliau berkata bahwa ya kalau ga mau nyoblos jangan banyak nuntut

harga bmm naik protes...
harga cabai naik protes...
harga beras naik protes...
kebijakan ini turun protes..

Maka dari itu kita tidak sepatutnya acuh akan pemilu tahun 2024 ini. memilih presiden kita mendatang itu perlu demi terjaminnya kehidupan kita. Suara kita itu sangat amat berharga. Jangan sampi kita membiarkan sekelompok orang bodoh berkuasa, hal ini merupakan tindak pidana karena pembiaran (crime by omission).

Memang, kita tidak bisa menilai segala aspek mengenai para calon, terkhusus di bidang yang bukan keahlian kita. Oleh karenanya, tidak ada salahnya bagi kita untuk mengkaji hanya di bidang keahlian masing-masing. Karena seiring bertambahnya usia, kita tidak bisa idealis, melainkan realistis. Misalnya saya mahasiswi jurusan komuniksi, maka saya akan menelaah mana calon presiden yang mempuni dalam bidang keahlian saya.

Kita juga bisa melenaah dari pendidikannya, kecerdasan, kebijaksanaan, prestasi, dll
Saya juga setuju bapak cecep juga menyatakan bahwa akan lebih baik jika kita memilih calon yang dekat dengan Tuhan kita yaitu Allah SWT.

Dalam memilih pemimpin nasional, hindarilah pemilihan berdasarkan popularitas dan pencitraan semata. Bangsa Indonesia memerlukan pemimpin yang mampu menangani beragam masalah saat ini, bukan bermodal pencitraan saja. Dahulu, demokrasi diliputi gejala politik pencitraan yang disajikan dengan apik, terutama melalui media sosial dan framing media konvensional.

Namun, sekarang, politik pencitraan telah meredup, menyebabkan dampak negatif terhadap karakter pemimpin yang dibangun dengan cara tersebut. Situasi ini menciptakan efek bumerang, di mana gaya politik pencitraan yang awalnya dianggap efektif kini membahayakan karakter pemimpin sendiri, karena tidak mampu dipertahankan dan dikendalikan.

Jadi Pilihlah pemimpin yang sudah jelas visinya, dan sudah jelas rekam jejaknya. Pemimpin juga harus bersih,aspiratif, dan bisa menjadi problem solver dan tentunya tidak butuh pencitraan seperti yang dikatakan pak cecep suryana. Ingatlah satu hal "Jika kita salah dalam memilih pemimpin yang benar, maka kita akan jatuh ke jurang yang besar"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline