Lihat ke Halaman Asli

hilman i

wirausaha & freelancer

Macet Jijieunan (Kasus Macet Kota Bogor)

Diperbarui: 4 Oktober 2016   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah dengar istilah “Macet Jijieunan?” (Macet yang dibikin-bikin). Istilah ini mengacu pada kondisi kemacetan yang tidak jelas juntrungannya di satu area tertentu dalam waktu yang lama. Begitu lepas daerah tersebut, arus lalu lintas lancar jaya. Seperti ketika memasuki wilayah Stasiun, Taman Topi dan Pasar Anyar. 

Sepintas, kemacetan di daerah komersial tersebut terasa wajar. “Maklum, namanya juga dekat pasar,” begitu kebanyakan piker warga Bogor. Dinikmati saja, juga kata sebagian orang yang biasa melewati kawasan tersebut dengan entengnya. Jejeran angkot ngetem berpadu dengan PKL yang mamakan badan jalan ditimpali deretan mobil dan motor yang parkir di jaln yang lebarnya tak lebih dari 8 meter saja.

Belum lagi perilaku pengguna kendaraan yang tak kalah ajaib. Pemotor melawan arus, gerobak PKL yang hilir mudik, tak ketinggalan pejalan kaki yang terdesak ke tengah jalan karena jalurnya diambil PKL. Gambaran di atas, belum mencerminkan secara lengkap situasi “macet jijieunan”. Apa yang jadi pelengkapnya? 

Tahukah kita, dalam lingkar kemacetan rupiah demi rupiah mengalir deras. Dalam deretan angkot yang ngetem ada jasa timer alias calo. Besaran uang jasa biasanya senilai ongkos dua orang penumpang dalam kapasitas penuh atau sekitar Rp 5000. Angka yang tergolong besar itu seolah tidak menjadi sola bagi sopir angkot ketimbang kendaraannya kosong tanpa penumpang.

Masih di pusaran yang sama, ada jasa parkir tidak resmi di kawasan jalan letter S alias dilarang stop itu. Dua Ribu hingga Lima Ribu Rupiah untuk parkir tanpa perlu takut dikempesi DLLAJ seperti di Jakarta sana. Atau berbagai pungutan kepada PKL agar tetap nyaman berjualan di bahu jalan. Nominalnya bisa belasan ribu setiap lapaknya. 

Receh-receh juga bertebaran buat “Pak Ogah” yang mengatur jalan (baca: mendahulukan kendaraan yang bayar), pengamen yang hilir mudik masuk di pintu-pintu angkot atau pengemis yang berada di median jalan karena trotoar tidak lagi nyaman dijadikan tempat mangkal. Semakin macet, semakin senanglah mereka. PKL punya peluang dagangannya laris, angkot yang ngetem dapat banyak penumpang yang malas berjalan meski hanya ratusan meter saja. Pengamen tak susah payah mengejar-ngejar angkot supaya bisa konser mengais recehan. Belum lagi pelaku-pelaku kriminal seperti copet berpesta pora jika situasi tambah semrawut. 

“Macet  Jijieunan” punya dampak ekonomi yang signifikan. Tak heran upaya penertiban akan berbuah perlawanan. Kalau pun ditertibkan oleh Satpol PP, tak perlu lama kondisi yang krodit kembali lagi. Apa solusinya? Tik tok tik tok 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline