Betapapun mengerikannya virus corona, beberapa analis berpendapat bahwa kondisi ini merupakan peluang untuk memperbaiki ekonomi global yang merusak lingkungan dan memicu ketimpangan pendapatan. Maurie Cohen (2020) menulis bahwa "COVID-19 secara bersamaan merupakan krisis kesehatan masyarakat dan eksperimen real-time dalam mengevaluasi ekonomi."
Bersamaan dengan berlangsungnya pandemi, karbon monoksida (CO) dan polutan lainnya telah anjlok bersama dengan emisi karbon dioksida (CO2), burung-burung kembali terdengar memenuhi jalan-jalan dengan nyanyian, dan lumba-lumba ikut bermain di Venesia. Pemerintah Amerika Serikat telah melakukan intervensi besar-besaran untuk membantu para pekerja, sebuah fakta yang tampaknya tak terbayangkan beberapa bulan lalu.
Bahkan mungkin saja nilai-nilai budaya akan bergeser dari materialisme jangka pendek menuju etika sosial yang lebih dermawan, sebuah kesadaran bahwa kita semua berada dalam masa-masa sulit. Secara bersamaan, kita mulai melonggarkan dunia kita yang saling berhubungan, setidaknya sejauh menyangkut pergerakan fisik, untuk menurunkan penyebaran penyakit dan dampak lingkungan dari dunia yang dipenuhi dengan lalu lintas udara, pergerakan orang dan komoditas internasional.
Di sisi lain perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat akan membutuhkan kerja sama global yang intens. Kita membutuhkan jenis glokalisasi baru, yang tidak didasarkan pada pertumbuhan ekonomi tetapi pada kesadaran lingkungan dan keadilan ekonomi.
Perubahan seperti itu tidak akan terjadi tanpa upaya dan pengorganisasian secara sadar. Seperti apa gerakan menuju masyarakat yang lebih sustainable (berkelanjutan) setelah virus corona? Saya percaya itu akan menjadi masyarakat di mana orang benar-benar hidup jauh lebih lokal tetapi berpikir lebih global.
Kunci masyarakat yang berkelanjutan terletak pada kesadaran akan kesamaan apa yang dimiliki oleh virus corona dan perubahan iklim. Kedua krisis tersebut tidak mempedulikan batas-batas geopolitik. Keduanya berkembang pesat dalam lingkungan yang diciptakan oleh versi globalisasi tahun 1990-an, yang didukung oleh neoliberalisme.
Kondisi ini berarti perdagangan bebas tanpa banyak memperhatikan lingkungan atau hak-hak buruh, dorongan yang tiada henti untuk pertumbuhan ekonomi, dan perjalanan global yang terus meningkat oleh wisatawan, bisnis, dan komoditas. Neoliberalisme juga merupakan mesin yang menghasilkan minyak dan batu bara yang sebagian besar bertanggung jawab atas krisis lingkungan kita.
Penatalayanan lingkungan yang lebih baik akan mengenali cara paralel sistem ekonomi cupet kita dalam mempercepat perubahan iklim dan pandemi. Pakar studi global Olivier Rubin (2019) sebelumnya berpendapat sesaat sebelum munculnya COVID-19;
"Kesamaan antara [penatalayanan antimikroba] dan perubahan iklim sangat mencolok: keduanya memiliki konsekuensi merugikan di hari ini dan berpotensi berubah menjadi bencana di masa depan; keduanya merupakan risiko kepentingan umum di mana manfaat dari antibiotik dan emisi bersifat lokal tetapi biaya resistensi dan perubahan iklim bersifat global; keduanya mengandung dilema etik yang jelas di mana beberapa orang menggunakan sumber daya bersama secara berlebihan (sehingga merugikan kita semua) sementara yang lain tidak memiliki akses ke sumber daya; dan menanggapi kedua ancaman tersebut mencakup kompleksitas tinggi dan banyak konstituen."
Dalam aspek perubahan iklim, masalahnya berupa eksploitasi kelimpahan batubara dan minyak murah serta sistem sosio-teknis (misalnya, transportasi). Dalam hal pandemi, hubungannya berbeda; kebersamaan kita terdiri dari seluruh isi planet dan perusakannya lebih tidak disengaja, kedatangan dan kepergian manusia berkepedulian rendah yang, bagaimanapun, memiliki konsekuensi lingkungan sekaligus memperburuk penyebaran penyakit.
Menanggapi ancaman lintas batas ini, terdapat beberapa masukan: polisentris, tata kelola horizontal; berbagi praktik terbaik di seluruh negara; dan memecahkan masalah dalam konteks lokal. Dalam beberapa hal, usaha ini telah terlaksana, meskipun dalam cara yang terpisah-pisah, seiring dengan para kepala daerah yang bergerak ke garis depan dalam menyelesaikan masalah di tengah pola kegagalan kepemimpinan nasional dan internasional yang meluas.