Kehidupan suku Quraish sebelum Islam yakni kehidupan nomadik yang penuh dengan resiko. Setiap hari dilalui dengan mempertahankan diri. Akan tetapi, pada abad keenam, mereka telah meraih keberhasilan besar dalam perdagangan dan menjadikan Makkah kawasan pemukiman paling penting di Arab. Namun, gaya hidup mereka telah berubah drastis. Hal ini mengimplikasikan bahwa nilai-nilai kesukuan lama telah bergeser pada kapitalisme.
Pada masa ini, kaum Quraisy menjadikan uang sebagai agama baru. Sehingga Nabi Muhammad merasa akan ada perpecahan suku jika kaum Quraish meletakkan nilai transenden lain di pusat kehidupan dan menaklukan egoisme, maka suku itu akan terpecah secara moral dan politik.
Pasalnya dahulu masyarakat Arab telah mengembangkan ideologi muruwah yakni sikap untuk saling membantu dan melindungi anggota suku. Muruwah sangat menekankan kepada egalitarianisme dan ketidakpedulian terhadap materi. Kedermawanan merupakan esensi pokok orang Arab untuk tidak mengkhawatirkan hari esok. kepentingan suku harus didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Setiap anggota suku hidup bergantung satu sama lain. Hal ini menyebabkan mereka mempunyai kewajiban untuk memperhatikan orang miskin dan lemah. Muruwah telah berdampak baik bagi masyarakat Arab selama berabad-abad. Namun sejak abad keenam tidak mampu menjawab kondisi modernitas.
Sehingga, diutusnya Nabi Muhammad akan mempersembahkan kepada orang-orang Arab sebuah spiritualitas yang secara unik sesuai dengan tradisi mereka dan yang membukakan kunci bagi sumber kekuatan yang besar sehingga dalam waktu seratus tahun mereka telah mendirikan imperium sendiri yang luas membentang dari Himalaya hingga Pirenia, dan membangun sebuah peradaban baru.
Orang Arab secara prihatin sadar bahwa Allah belum pernah mengutus kepada mereka seorang nabi atau menurunkan kitab suci bagi mereka, meski tempat suci baginya telah ada di tengah-tengah mereka sejak masa yang sudah tak dapat diingat lagi.
Pada abad ketujuh, kebanyakan orang Arab percaya bahwa Ka'bah, bangunan sangat tua berbentuk kubus besar yang terletak di jantung Makkah, pada awalnya didirikan demi pengabdian kepada Allah, walaupun pada saat itu tempat tersebut diisi oleh dewa Hubal orang Nabatea.
Semua penduduk Makkah sangat bangga akan Ka'bah yang merupakan tempat suci paling penting di Arabia. Setiap tahun orang-orang Arab dari segala penjuru semenanjung melaksanakan ziarah ke Makkah, untuk menyelenggarakan ritus-ritus tradisional selama beberapa hari. Semua kekerasan dilarang di sekeliling tempat suci Ka'bah, sehingga mereka dapat berdagang dengan damai satu sama lain di sana, karena mengetahui bahwa permusuhan-permusuhan lama untuk sementara harus ditunda.
Kaum Quraish menyadari bahwa tanpa tempat suci itu mereka tak akan meraih kesuksesan berniaga dan bahwa sebagian besar prestise mereka di kalangan suku-suku bergantung pada penjagaan terhadap Ka'bah dan pada pelestarian kesuciannya yang ada di bawah tanggung jawab mereka.
Namun, meski Allah jelas-jelas telah mengistimewakan kaum Quraisy untuk tugas ini, Dia tidak pernah mengirim kepada mereka seorang utusan, seperti Ibrahim, Musa, atau Isa, dan orang Arab tak memiliki kitab suci dalam bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, tersebar luas rasa inferioritas spiritual di antara mereka.