Lihat ke Halaman Asli

Netizen Indonesia Krisis Etika di Media Sosial

Diperbarui: 17 Desember 2024   06:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto seseorang membuka sosial media (Sumber : https://unsplash.com/@martenbjork)

         Di era serba digital, kita tidak dapat lepas dari media sosial. Media sosial menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, bahkan bagi sebagian orang sudah menjadi kebutuhan pokok. Dengan jumlah pengguna Indonesia sekitar 139 juta orang, media sosial menghubungkan individu atau kelompok dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, media sosial menjadi wadah untuk sumber informasi yang beragam dan kita dapat mengaksesnya dengan mudah. Sudah seharusnya media sosial menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk semua orang. Akan tetapi, pada kenyataannya ada pihak yang tidak bijak dalam penggunaan media sosial.

            Mereka menyalahgunakan media sosial untuk kepentingan individu/kelompok. Selain itu, ada juga mereka yang secara tidak sadar bersikap non-etik di media sosial. Bentuk kegiatannya berupa menyebarkan hoaks, melakukan cyberbullying, menyebar gossip, dan lain-lain. Aktivitas tersebut bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Tentu, hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan antar pengguna media sosial. Selain itu, sikap non-etik dari netizen Indonesia dapat merusak citra nama baik Indonesia yang dikenal sebagai negara dengan penduduk teramah di dunia

            Ada sebuah survey bernama Digital Civility Index (DCI) yang merupakan program dibuat oleh Microsoft untuk mengukur nilai kesopanan warga negara. Menurut data DCI 2020, negara Indonesia menduduki peringkat 29 dari 32 negara yang diteliti. Sebagai perbandingannya, negara Belanda menduduki peringkat ke-1 secara global dengan skor 51. Tidak hanya itu, negara Indonesia menduduki peringkat terendah di kawasan Asia-Pasifik dengan skor 76.  Sebagai perbandingannya, negara Singapura menduduki peringkat ke-4 secara global dan peringkat ke-1 dalam kawasan Asia-Pasifik dengan skor 59. Semakin tinggi nilai skor, semakin buruk nilai kesopanan dan berlaku sebaliknya. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa netizen Indonesia dalam keadaan krisis beretika di media sosial.

            Sikap non-etik antar netizen Indonesia tentu memiliki penyebab masing-masing. Salah satu faktor penyebabnya adalah anonimitas. Sebagian besar platform media sosial memiliki kebijakan dimana data-data pribadi pelanggan disembunyikan. Kebijakan tersebut sebenarnya baik untuk menjaga pengguna dari hujatan netizen Indonesia. Akan tetapi, kebijakan tersebut mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan tanpa mengkhawatirkan identitasnya terungkap. Bahkan, beberapa orang memanfaatkannya dengan membuat beberapa akun sehingga identitas aslinya susah dilacak.

            Kurangnya literasi digital berperan dalam kurangnya sikap etik netizen Indonesia. Meskipun media sosial menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan diri, ada batasan yang perlu diperhatikan seperti etika. Beberapa netizen Indonesia cenderung tidak hati-hati atau tidak peduli dalam menjaga kalimat. Mereka ingin menyampaikan pendapat yang berada di pikiran mereka saat itu tanpa mempertimbangkan dampak ke orang lain. Selain itu, kurangnya literasi digital memberikan ancaman yang rentan terhadap berita hoax. Belakangan ini, media sosial sedang marak berita hoaks. Tanpa adanya pengetahuan literasi digital antar netizen Indonesia, mereka mudah menyerap berita hoaks yang dapat mempengaruhi pendapat dan amarah mereka. Oleh karena itu, sebagian netizen Indonesia cenderung menghujat orang lain dan mengakibatkan suasana ketidaknyamanan di media sosial.

            Dari faktor tersebut, tentu diperlukan sebuah solusi. Saya menyarankan untuk pihak perusahaan media sosial untuk membuat kebijakan dimana seseorang harus mencantumkan NIK (Nomor Induk Keluarga) untuk mendaftar dan membuat akun baru di platform media sosial. Dengan kebijakan tersebut, seseorang terbatas membuat satu akun dan identitas seseorang jelas. Selain itu, kebijakan tersebut memudahkan pihak perusahaan dan aparat penegak hukum untuk bekerja sama dalam melacak pelaku atau seseorang yang melanggar peraturan sehingga bisa ditindaklanjuti sesuai peraturan UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Teknologi) yang berlaku.

            Selain itu, upaya sosialisasi/edukasi kepada masyarakat. Untuk melaksanankan ini, diperlukan dari pihak perusahaan media sosial, pemerintah, dan masyrakat. Dari pihak perusahaan dapat mengambil langkah dengan mempromosikan atau menetapkan konten-konten positif pada beranda utama. Pihak pemerintah dapat membuat suatu lembaga yang berfokus pada pemberantasan berita hoax dan melakukan sosialisasi terkait kewaspadaan berita hoaks. Pihak masyarakat dapat memperingati orang lain atau kerabat keluarga atau teman dekat terkait bahaya-bahaya di media sosial. Kita juga sadar diri dengan potensi buruk yang ada di sosial media. Oleh karena itu, kita juga harus hati-hati dalam mengolah informasi dan emosi selama menelusuri sosial media

            Dengan demikian, media sosial seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh orang untuk mengekspresikan diri. Namun, masih ada beberapa orang yang menyalahgunakan ataupun tidak mengetahui peraturan dan etika dalam penggunaan media sosial sehingga meninimbulkan ketidaknyamanan diantara pengguna lain. Oleh karena itu, diperlukan upaya baik dari pemerintah, pihak perusahaan media sosial, dan masyarakat sendiri untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline