Lihat ke Halaman Asli

Rusakkan Saja Anies! Benar-Salah, Soal Belakangan

Diperbarui: 14 Maret 2017   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://twitter.com/aniesbaswedan

Di antara banyak hal yang menarik, sekaligus mengecewakan, dari sebuah pertarungan adalah upaya untuk menjatuhkan lawan dengan cara-cara yang tidak elegan. Kita sepakat, ada komitmen untuk bersaing secara sehat dan bersih, tapi akan selalu ada, upaya yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk menyibukkan lawan dengan sesuatu diluar pertandingan. Menyebar fitnah, membangun isu-isu sensitif, dan melakukan framinguntuk menegasikan calon tertentu, adalah sebuah “keniscayaan” yang jamak kita temukan dalam pertarungan pemilihan, mulai dari tingkat RT hingga Presiden, termasuk juga dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini.

Anies Baswedan menjadi salah satu korban yang paling sering diserang dengan isu-isu dan fitnah yang bertebaran untuk membuatnya menjadi sosok yang penuh cacat dan tak layak memimpin Jakarta. Meski dengan frekuensi lebih rendah, Sandiaga-pun tak luput dari sasaran. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah diktum licik dalam sebuah pertarungan, yaitu “Rusakkan saja namanya. Persoalan benar atau salah, itu urusan belakangan!”Seperti itulah yang kita rasakan saat ini, sedang menimpa Anies Baswedan. ia diserang secara sporadis, secara serampangan, persoalan berpengaruh atau tidak, itu persoalan belakangan.

Anies Baswedan, kini dilaporkan ke KPK dengan dugaan korupsi dana perjalanan ke Frankfrut, Jerman, untuk mengikuti sebuah festival disana, dimana Indonesia menjadi peserta kehormatan. Dana 146 Miliar dipertanyakan karena tidak masuk akal. Bahkan dibandingkan secara negatif dengan dana kunjungan Raja Salman, yang katanya menghabiskan 150 Miliar dengan rombongan 1.500 orang. Meski Goenawan Muhammad (GM) sudah memberikan jawaban dan sedikit klarifikasi tentang itu, tapi semuanya tak bergeming. Isu tetap dipaksakan, untuk menegasikan Anies Baswedan terlibat korupsi.

Isu seperti ini sebenarnya sudah basi karena sebelumnya Anies Baswedan juga diserang dengan adanya kelebihan dana 23,3 Triliun di Kemendikbud yang secara serampangan pula disangkutkan kepada Anies Baswedan. Tidak berhasil disitu, bukti transfer sebesar 5 Miliar kepada saudara Anies Baswedan kemudian ramai di dunia sosial. Tak berhasil Anies, menyerang keluarganya pun menjadi halal. Tapi semuanya bisa dimentahkan, dan kebenaran tak pernah salah untuk memilih keberpihakan. Anies Baswedan terbukti konsistensinya dalam hal anti korupsi.

Apakah ini sebagai upaya untuk mengimbangi Ahok yang selalu diframingsebagai orang bersih, tapi namanya tak bisa dilepaskan dari kasus-kasus korupsi besar? Nama Ahok tak bisa dihilangkan dari kasus Sumber Waras, reklamasi, pembelian lahan yang tak jelas juntrungannya.Sehingga dengan demikian pihak pendukung Ahok dan pemujanya bisa beralibi, “tuh,nama Anies juga tidak bersih, disangkut-pautkan dengan kasus korupsi!” Apakah itu yang dimaksudkan? Tapi apapun, pelaporan itu cenderung politis untuk merusak nama Anies Baswedan secara sadis, menjelang pelaksanaan Pilkada putaran kedua. Kita jadi teringat Sylviana Murni, yang namanya habis karena dipanggil untuk diperiksan, justru menjelang pelaksanaan pencoblosan. Sekarang? Entah kemana kasusnya berkembang!

Munculnya framingjuga bisa dibaca dari pendapat pendukung Ahok yang mengatakan, bahwa Anies Baswedan akan menjadi bagian dari perilaku radikal karena didukung oleh orang-orang yang radikal. Isu ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa, bahkan Anies tak bisa dilepaskan dengan kasus penolakan terhadap jenazah orang munafiq yang sedang viral di masjid-masjid di Jakarta. Darimana asalnya? Entahlah. Tapi dengan begitu elegan, mereka yang mendukung Ahok mengatakan diri mereka sebagai Pancasilais, Nasionalis, cinta persatuan dan kebhinnekaan, sementara yang berseberangan, dicap sebagai radikal. Lalu dari mana mereka mendefinisikan itu semua? Hanya mereka yang tahu, dan mungkin berhak untuk memberikan definisi. Mereka, pendukung Ahok memang aneh, karena pada saat yang bersamaan, mereka juga memainkan isu-isu agama. Djarot, secara tegas meminta untuk menghentikan bermain-main dengan agama dalam koteks Pilkada, padahal Anies yang dipertanyakan karena belum haji, itu juga isu personal dan tak ada urgensinya dengan Pilkada.

DP 0 Rupian dibully. Oleh siapa? Oleh mereka yang kaya, yang mempunyai banyak rumah. Adakah itu dibully oleh rakyat yang membutuhkan rumah? Tidak! Katanya juga, ada suasana Orba yang menyeruak karena di belakang Anies, ada orang-orang dari generasi Orba yang katanya akan bangkit. Duh, entah logika darimana ini diambil, padahal jelas, bahwa reformasi adalah jalan pilihan yang tak bisa diubah begitu saja. Tanyakan saja ke rakyat Indonesia, apakah mereka ingin kembali ke orba? Pasti jawabannya tidak! Apalagi, ini hanya gubernur, bukan Presiden! Kalau Presiden, masih ada kemungkinan (meski harus dipaksakan), tapi ini Cuma gubernur! Sejauh mana dampak kebijakan Gubernur Jakarta untuk kembali ke Orba lagi?

Banyak hal lagi yang menjadikan Anies Baswedan sebagai target serangan. Sandiaga-pun ikut menjadi sasaran, ketika ada dua laporan yang mengharuskannya hadir untuk menyelesaikan di meja hukum. Melihat kasusnya, juga tak jelas arahnya, tapi yang penting dilaporkan. Yang penting menyerang. Yang penting merusak nama baik dulu. Yang penting rusakkan dulu, persoalan benar atau salah, itu urusan belakangan!.

Kenapa seperti itu? Karena Ahok yang mereka dukung sudah jelas menjadi terdakwa penistaan agama. Percaya tidak percaya, kasusnya sedang diproses di pengadilan. Hukum harus dikedepankan. Karena Ahok, yang katanya berprestasi, tak bisa menjaga sarkasme dan arogansinya melawan rakyat yang menangis dan menjerit. Karena Ahok, meski banyak yang mengakui kerjanya, tapi warga Jakarta jelas menginginkan gubernur baru. Karena Ahok memaksakan diri untuk membangun meskipun menabrak perda, bahkan aturan yang dibuatnya sendiri. Karena Ahok, ternya sudah terbukti sebagai sosok yang memecah belah kerukunan dan kedamaian umat beragama.

Untuk menyaingi kenyataan dan fakta itu, maka orang lain harus juga dibuatkan “fakta” tentang keburukannya. Rusakkan dulu, benar-salah itu soal belakangan.Sebuah cara, yang sudah pasti akan memakanan tuannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline