Lihat ke Halaman Asli

Quo Vadis Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13366559791081699819

Quo Vadis Pendidikan Indonesia

Oleh : Hilman Rasyid*

“Tidak mungkin negara Indonesia maju tanpa disiplin”

-Popong otje djundjunan (Anggota Komisi X DPR RI)

Di tengah kebobrokan dan kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian yang tanpa peduli sesama, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis religius menjadi relevan untuk diterapkan. Pendidikan karakter ala foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme yang dipelopori oleh filusuf Prancis Auguste Comte.

Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan berfikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Kebanyakan guru hanya mengajarkan apa yang harus dihafalkan. Mereka membuat peserta didik menjadi “beo” yang dalam setiap ujian cuma mengulangi apa yang dikatakan guru. Jika kita melihat sejarah, ternyata sikap pasif dan adaptif terhadap teks (buku pelajaran) dipengaruhi oleh gelombang budaya positivisme yang lahir dari rahim kapitalisme yang mengakibatkan terjadinya degradasi fakultas kritis para peserta didik. Akibatnya peserta didik hanya akan menerima apa adanya, tanpa reserve, dan tanpa kritik. Mirisnya lagi, dunia pendidikan kita masih sibuk berkutat dengan problematika internalnya seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sulit meratanya pendidikan, sistem pendidikan yang masih lemah, pendidikan dikomersialisasikan dan sebagainya.

Melirik Problematika Pendidikan

Dunia pendidikan kita sepertinya telah melupakan tujuan utama pendidikan, karena dilihat dari semakin menyimpangnya dari tujuan pendidikan. Kita ketahui bahwa problematika pendidikan merupakan suatu kendala yang akan menghambat dan menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Kita ambil saja salah satu kebijakan yaitu sistem Ujian Nasional (UN); suatu kebijakan yang sudah menjadi kontroversi. Dengan adanya kebijakan bahwa tolak ukur kelulusan ditentukan hanya dari nilai UN tanpa melihat sebuah proses dan nilai lain, maka pendidikan telah dijadikan layaknya sebuah mesin yang hanya mencetak para peserta didik yang pintar tapi tidak bermoral dan pragmatis yang kemudian menjadi para penganggur. Sehingga, kebijakan UN ini sangat bertentangan sekali dengan wacana pendidikan berbasis karakter dan budaya.

Kemudian aksesibilitas pendidikan yang ternyata sangat sulit dilakukan hingga ke pelbagai pelosok di Indonesia. Menurut Popong otje djundjunan (Anggota Komisi X DPR RI), -sewaktu penulis berdiskusi dengan beliau pada hari kamis (3/5)- bahwa sulitnya pemerataan pendidikan disebabkan 2 kondisi; pertama, kondisi fisik Indonesia yang secara geografis mempunyai sekitar 17.000 pulau, sehingga aksesibilitas pendidikan sulit merata. Kedua, kondisi non fisik yang tentunya dilihat dari sistem pendidikan di Indonesia yang masih lemah. Banyak juga para pejabat dalam sektor pendidikan yang tidak dan bukan orang yang menguasai pendidikan. Sehingga kita bisa lihat faktanya, bahwa pendidikan kita telah keluar dari jalan yang sebenarnya bahkan kehilangan arah.

Jika kita lihat aksesibilitas pendidikan dari segi anggaran, yang faktanya banyak dana/anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran dan entah masuk ke rekening siapa. Faktanya, meskipun dibantu dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menjadi sebuah tindakan solusi emergency, masih banyak anak-anak miskin yang tetap tidak bisa mengenyam pendidikan dasar dikarenakan tetap mahalnya biaya lain, seperti seragam sekolah yang bermacam-macam yang harus dibeli dengan harga mahal, biaya buku dari sekolah yang mahal pula dan sebagainya. Meskipun di sisi lain dana pendidikan yang bayak dikorupsi, mungkin itulah yang menjadi kendala esensial krusial bagi anak-anak miskin di Indonesia untuk mengenyam pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama. Yang mengejutkan lagi, anggaran pendidikan 20% dari APBN ternyata bukan hanya masuk pada kementerian pendidikan dan kebudayaan saja, melainkan masuk ke-18 kementerian. Karena masing-masing kementerian mempunyai kepentingan dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.

Arah ideologi pendidikan sekarang sepertinya hanya bertumpu pada kebutuhan arus pasar semata. Padahal ideologi pendidikan sangat berbeda dengan ideologi pasar. Ideologi pendidikan lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik, sedangkan ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik. Ketika ideologi pasar telah mendominasi dunia pendidikan, maka ideologi pendidikan kita akan terseret jauh sehingga pendidikan hanya mencetak lulusan-lulusan yang pragmatis dan amoral.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline