Senja baru saja berlalu, angin bertiup lembut menampar pepohonan yang berjejer rapih di tepi pantai, menghadirkan hawa dingin dan mulai menyebar, menyergap suasana.
Dari kejauhan suara azan menggema di setiap masjid menjalar ke berbagai penjuru langit. Para pengunjung di pantai Jikomalamo, yang sedari tadi duduk patuh mendengar lantunan azan pun mulai berkemas untuk kembali pulang.
Suasana pantai yang semula sangat ramai, perlahan-lahan menuju sepi. Sesepi hati Ningsih, gadis cantik yang sejak pukul lima sore, menunggu sang pacarnya namun tak kunjung datang.
Walaupun suasana pantai mulai menuju gelap, Ningsih tetap setia menanti pacarnya, ia meraih tas kecilnya yang sedari tadi tergeletak di sampingnya dan menyampirkan di bahu kanannya, lalu memutuskan beranjak dari tempat duduk dan berjalan mendekati sebuah mobil, yang diparkir di lokasi parkiran, kemudian melangkah lebar menuju cermin berukuran besar yang dikait di depan toilet.
Dari pantulannya di cermin, ia memerhatikan sosok pria berjalan menghampirinya, namun bukan sang pacarnya, melainkan petugas cleaning service pantai Jikomalamo.
"Hari sudah malam, jangan sendiri nanti diculik orang," ujar si petugas kebersihan itu penuh canda. Namun, Ningsih tak menggubris, ia kembali mematut dirinya di depan cermin, lalu meraih alat kosmetik di dalam tas kecilnya, dan merias wajah cantiknya dengan balutan jilbab pashmina.
Wajahnya telah dirias sempurna, lalu ia berjalan menuju ke sebuah gazebo di tepi pantai dengan perasaan campur aduk, antara kesal, heran dan penasaran. Sebab, Angga sang pacarnya mendadak berubah.
Padahal pantai Jikomalamo merupakan tempat favorit mereka memadu kasih. Angga tak pernah sekalipun melewati akhir pekan di pantai Jikomalamo bersama Ningsih, di pantai inilah mereka pertama kali mengikrarkan cinta, dan berjanji setia sehidup semati.
"Ning, hanya engkaulah satu-satunya wanita yang hadir dalam hidupku,"
"Engkau sosok wanita berparas cantik, penuh wibawa dan santun,"
"Aku berharap cinta yang kita rajut, tetap bertahan hingga mencapai pelaminan,"
"Jujur! Aku tak sanggup hidup tanpa dirimu,"
"Engkaulah bidadari yang ditakdirkan Tuhan untuk hidup bersamaku."
Kata-kata itu menggema jelas di kepalanya, Ningsih ingat benar ketika kata-kata itu dilontarkan Angga pada tempat yang sama, yang saat ini kembali ia tempati. Angin bertiup lembut, musik-musik sayup dari sebuah Caf yang berjarak tak jauh dari tempatnya, mengingatkan pada momen pertama kali ia dan Angga memadu kasih. Kala itu, mereka berduaan duduk menatap laut, dan menyaksikan matahari pulang dengan perasaan penuh bahagia.