[caption caption="Tolikara dari udara (Okezone)"][/caption]
"Kalau judul seperti itu besok naik cetak, saya berhenti dari sini."
Di suatu sore di tahun 2008 saya menegaskan kalimat itu dalam rapat bujet di perusahaan surat kabar harian di Kalimantan Timur (Kaltim) tempat saya bekerja sampai sekarang. Rapat bujet adalah pertemuan petinggi operasional setiap sore untuk menentukan bersama-sama topik atau berita apa yang akan diterbitkan di edisi besok berdasarkan berita yang telah terkumpul dari para reporter hari itu. Di hadapan saya ada pemimpin redaksi, direktur operasional, manajer pemasaran, manajer iklan, manajer sirkulasi dan para redaktur kompartemen. Saat itu saya masih menjabat sebagai redaktur pelaksana atau managing editor.
Menjelang Pilkada Kaltim 2008 situasi sosial politik di Kaltim memanas. Situasi makin ruwet ketika percaturan politik ini diwarnai dengan sentimen etnis. Baik dari para calon, parpol, pendukung sampai ke penyelenggara. Beberapa kelompok etnis yang berbeda sempat head to head di jalan raya siap bentrok. Isu akan terjadinya serangan ke kawasan yang didominasi etnis tertentu bergulir hampir setiap hari.
Tapi, seringkali 'memanas' artinya uang tambahan buat media. Ketika situasi tak menentu masyarakat akan mencari asupan informasi sebagai dasar pengambilan keputusan, atau setidaknya referensi untuk bertindak. Kebutuhan ini membuat pembeli koran makin banyak. Otomatis jumlah oplah meningkat. Oplah naik artinya uang pemasukan dan iklan bertambah. Tak ada perusahaan media yang tak butuh uang.
Sore itu redaktur melaporkan situasi sosial politik terkini yang didapatkan reporternya di lapangan. Ketegangan dua etnis besar di Kaltim nyaris pada puncaknya. Bahkan sudah ada kubu yang menyeret isu agama. Para petinggi koran yang berurusan dengan omzet, oplah dan uang berpendapat ini adalah saat paling tepat mengambil momen. Momen adalah kata lain dari uang dan oplah.
Mereka minta berita ditulis dengan judul yang 'eye catching' dan konten yang -- mereka sebut -- bisa bikin merinding. Karena menurut mereka, makin merinding makin laku. Mereka minta berita ditulis apa adanya, begitu pula nama etnis yang selama ini tidak ditulis eksplisit, agar ditulis apa adanya. Dalam rangkaian peristiwa politik ini, redaksi sangat berhati-hati memilih sudut pandang berita, memilih fakta lapangan dan gaya penulisan laporan. Tujuannya agar situasi tak memburuk dan demi keselamatan jiwa para reporter di lapangan. Dalam situasi seperti ini yang netral pun bisa salah, yang mencoba melerai pun bisa kena pukul. Tapi tampaknya para petinggi koran yang berurusan dengan uang sudah gemas. Karena dalam beberapa minggu rangkaian peristiwa ini redaksi dianggap tidak kunjung membuat berita yang bisa bikin 'menggigil'. Koran gagal dapat uang lebih banyak dari peristiwa yang mungkin hanya akan terjadi sekali dalam satu dekade ini. Jadi mereka berpendapat edisi selanjutnya adalah saatnya berita ditulis apa adanya: nama etnis ditulis, kemarahan dideskripsikan, rumor digulirkan, pernyataan sentimen tokoh adat ditulis lengkap, dst.
Perdebatan sengit itu saya akhiri dengan pernyataan paling atas, kemudian keluar ruang rapat. Di akhir rapat pemimpin redaksi memberitahu saya bahwa ia memutuskan tetap pada pola pemberitaan yang sebelumnya yang tak memanas-manasi. Kepentingan omzet dan laba harus mengalah dulu. Saya bersyukur. Di akhir tahun, ia menyerahkan jabatannya kepada saya yang saat itu masih berusia 27 tahun.
JURNALISME 'WHAT NEXT?'
Hidup di daerah dengan potensi letupan antaretnis seperti di Kaltim sebagai seorang wartawan, sangat membantu saya mengasah kepekaan. Setiap tahun rata-rata terjadi 3-4 kali letupan serupa dalam berbagai skala. Menulis dan menyunting berita tak cukup lagi 5W1H (what, who, why, when, where, how). Tapi yang terpenting adalah 'what next'. Apa yang akan terjadi setelah berita terbit. 'What next' memerlukan visi, cita-cita, analisa, kepekaan dan kearifan. 5W1H adalah wilayah kompetensi seorang wartawan. Sedangkan 'What next' adalah wilayah moral, kecerdasan sekaligus kecerdikan.
Kawan-kawan reporter atau kontributor Kaltim dari media Jakarta sering mengeluh. Laporan yang menyangkut konflik antaretnis yang mereka kirim ke redaktur di Jakarta seringkali diterbitkan 'sangat apa adanya'. Jadi, seringkali berita online tentang konflik antaretnis di Kaltim diberitakan sangat bombastis di media online Jakarta. Meski prihatin, saya maklum karena petinggi atau redaktur perusahaan berita tidak bersentuhan langsung dengan situasi riil. Mereka tak punya kepekaan, atau mungkin tak punya kepedulian bila berita itu bisa jadi bahan bakar tambahan kemarahan di lapangan.
Dalam teori klasik jurnalistik yang menekankan penyajian fakta apa adanya, itu tidak salah. Tapi jurnalistik juga mengajarkan nilai sebuah fakta. Kalau Anda punya istri 4 lalu menabrak orang di jalan, tentu akan menganggap judul ini sampah: "Seorang Pria Beristri 4 Menabrak Orang sampai Tewas". Anda punya istri 4, itu fakta. Tapi dalam peristiwa yang diberitakan, fakta itu tak bernilai -- meski ia eye catching. Dalam kasus konflik antaretnis, nilai fakta itu ditimbang secara cermat dampaknya. Nilai fakta itu adalah pergulatan moral bagi mereka yang membuat laporan dan menyunting berita. Bagi perusahaan media, nilai fakta itu adalah ujian bagi cita-cita media itu sendiri.