Di awal 2000-an otonomi daerah di Indonesia dimulai. Daerah tak hanya punya uang APBD lebih banyak, tapi Pemda juga memiliki juga keleluasaan dalam menentukan dan mengelola anggaran dibanding era sebelumnya. Salah satu pos anggaran yang diperbesar adalah kegiatan kehumasan. Pemda jadi rajin beriklan khususnya di media cetak, baik dalam bentuk iklan display (seperti iklan ucapan selamat) atau advertorial (berita bersponsor).
Perusahaan koran sebelum era reformasi yang giat berekspansi ke daerah adalah Jawa Pos Grup (JPG). Terutama dilakukan dengan cara mengakuisisi koran-koran kecil di daerah. Ketika otonomi daerah dimulai, koran-koran lokal JPG mendapatkan pemasukan yang besar dari anggaran kehumasan Pemda. Tapi bukan itu yang terpenting. Melainkan ditemukannya sebuah model bisnis baru dan growth hack dalam bisnis koran yang mengubah peta industri media di Indonesia.
Model bisnis koran pada umumnya memiliki 2 revenue stream (aliran pendapatan): asset sale (menjual koran secara fisik) dan advertising (periklanan). Revenue model (model pendapatan) koran umumnya juga 2: subscription (berlangganan) dan ad-based (periklanan). Revenue stream utama media adalah advertising, mereka menciptakan ruang untuk beriklan. Revenue stream dari asset sale keuntungannya bagi koran sangat kecil. Pada revenue stream advertising, penjualan iklan biasanya dilakukan secara satuan atau berlangganan dalam jangka waktu tertentu. Umumnya berlangganan iklan dalam periode per minggu atau per bulan. Konsumen yang mampu berlangganan iklan dalam periode bulanan hanya dari segmen perusahaan/merk besar yang jumlahnya terbatas. Padahal setiap usaha memerlukan retensi atau pembelian ulang secara terus-menerus untuk meningkatkan customer lifetime value (CLV). CLV yang nilainya 0 atau minus (tidak membeli ulang) berarti kematian bagi usaha.
Otonomi daerah dan besarnya anggaran kehumasan dimanfaatkan oleh JPG untuk meningkatkan CLV. Caranya adalah menawarkan kerjasama advertorial kepada Pemkot/Pemkab, Pemprov, DPRD kota/kabupaten/provinsi, sampai dinas-dinas Pemda, yang volumenya besar dan dalam jangka waktu panjang. Volumenya bisa 1 halaman penuh, terbit setiap hari, kontrak langsung 1 tahun. Itu 1 Pemda. Kalau dalam 1 provinsi ada 6 Pemda, 6 DPRD kota/kabupaten, 1 Pemprov, 1 DPRD provinsi.... silakan dibayangkan. Untuk iklan advertorial 1 halaman di koran daerah, umumnya seharga Rp 20-50 juta bila dibeli/terbit harian. Bila berlangganan 1 tahun, pasti beda harganya. Tapi nilainya pasti miliaran yang mengakibatkan kenaikan CLV yang luar biasa. Nilainya bahkan melampaui penjualan iklan komersial konsumen swasta. JPG telah menemukan mesin pertumbuhan (growth machine) baru yang membawa mereka melejit.
Model bisnis baru seperti ini telah berhasil melejitkan performa keuangan JPG hingga menjadi salah satu leader dalam industri media nasional. Mereka telah menemukan cara baru untuk meningkatkan dan meretas (hack) pertumbuhan (growth) secara cepat dengan biaya yang efisien --- karena mereka tidak perlu beriklan untuk mengakuisisi konsumen Pemda. Cara ini kemudian diikuti oleh Kompas Grup yang ikut berekspansi ke daerah lewat Tribun. Tapi sebagai first mover dan telah menjalani learning curve, JPG punya banyak keunggulan.
Growth Hack
Di atas tadi adalah contoh kasus growth hack atau meretas pertumbuhan usaha agar tumbuh dengan (sangat) cepat lewat cara yang tidak biasa. Setiap perusahaan sukses yang kita kenal memiliki growth hack-nya masing-masing. Growth hack ini mesti ditemukan karena ia sebuah pendekatan baru yang unik yang sangat mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Atau bisa juga karena keberuntungan yang datang dari momen. McDonald's melakukan growth hack di tahun 1950-an dengan cara mendirikan kios di setiap pintu keluar jalan tol di AS. Growth hack Uber dan Paypal adalah dengan memberikan bonus deposit lewat refferal. Growth hack Gojek salah satunya dengan cara mewajibkan rider menggunakan jaket Gojek yang fenomenal itu. Growth hack Hotmail tahun 1996 adalah dengan menuliskan "PS: I Love you. Get your free e-mail at Hotmail" pada setiap signature/catatan kaki email yang terkirim. Hasilnya adalah 12 juta pengguna dalam 1,5 tahun (ingat, itu tahun 1996).
Kenapa setiap usaha memerlukan growth hack?
Setiap orang ingin usahanya tumbuh dengan cepat. Namun cara pemasaran mainstream sudah tersaturasi/jenuh atau padat. Kita beriklan, jutaan orang lain juga beriklan. Kita memberi diskon, semua juga begitu. Kita menjual harga murah, penjual lain bisa lebih murah. Cara mainstream ini adalah area yang sangat padat, brutal, dan berdarah-darah. Red ocean. Kalau kita melakukan cara yang sama, hanya akan menambah satu darah lagi. Bicara soal iklan, iklan hanyalah accelerator, bukan asal pertumbuhan. Bila kita mengandalkan iklan untuk tumbuh, berarti ada yang salah.
Setiap usaha pasti memiliki model bisnis. Namun setiap usaha yang sukses pasti telah mengujicoba berbagai model bisnis sampai akhirnya mereka sukses menemukan salah satu yang tepat. Dalam model bisnis kita menentukan mesin pertumbuhan. Pada kasus JPG di atas, di awal mereka memilih mesin pertumbuhan dari iklan komersial dan penjualan koran. Mesin pertumbuhan yang sama juga digunakan oleh seluruh media lain. Tersaturasi tinggi. Sampai JPG menemukan Pemda sebagai mesin pertumbuhan baru yang membawa mereka ke model bisnis baru.
Lalu, mana yang harus dilakukan duluan? Mengubah/mencoba model bisnis, menentukan mesin pertumbuhan baru, atau melakukan growth hack?
Pertanyaan ini seperti ayam-telur. Tapi saya lebih memilih telurnya duluan. Artinya, growth hack terlebih dulu karena ia sesuatu yang sangat implementatif dan meningkatkan learning curve (kurva pembelajaran) kita. Dengan mencoba sesuatu, kita akan tahu hasilnya -- gagal atau berhasil. Dari sana kita juga akan belajar tentang perilaku konsumen dan pasar. Yang sangat mungkin membuat kita menemukan model bisnis, mesin pertumbuhan, dan cara growth hack baru. Momen juga sangat menentukan. Pada kasus JPG, pada era Orde Baru mereka sudah lama bermitra dengan Pemda. Namun ketika masa otonomi daerah tiba, momen itu mampu mereka utilisasi.