Lihat ke Halaman Asli

Hilman Fajrian

TERVERIFIKASI

Kita Adalah Siapa Yang Kita Pilih

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila saja ada serangan teroris di Amerika Serikat (AS) sebelum Pilpres 2008 AS digelar, McCain pasti menang. Sampai sekarang kemungkinan kita tak pernah melihat Obama duduk di kursi Presiden AS.

Tahun 2008 adalah momentum teramat penting bagi rakyat AS akan masa depan ekonomi, politik dan pertahanan mereka. Diserang teroris pada tragedi WTC 2001, selama 7 tahun negara itu dalam kondisi perang dan rakyatnya tersulut amarah. Presiden GW Bush ketika itu berhasil menjadi pemimpin perang seperti dikehendaki rakyat AS. Ketika Bush menginvasi Irak dan Afganistan, ia mendapat dukungan penuh dari rakyatnya.

Di Pilpres AS 2004, GW Bush mencalonkan diri kembali melawan John Kerry yang menginginkan AS menarik pasukannya dari wilayah invasi. Bush sebaliknya, ia menjanjikan akan memperkuat pertahanan dalam negeri dengan cara menindak negara-negara sarang teroris. Di hari pemilihan, GW Bush menang mudah. Kampanye dan janji Kerry tidak berhasil di hati rakyat AS yang masih marah kepada teroris dan negara pendukungnya.

Namun kemarahan rakyat AS tiba pada batasnya ketika melihat kenyataan betapa banyaknya uang pajak mereka dipakai berperang, ribuan sanak-saudara mereka gugur di medan perang, betapa dilanggarnya hak-hak warga karena pemerintah masuk ke wilayah pribadi atas alasan keamanan nasional, dan semua itu diperparah dengan terjangan krisis subprime mortage 2008. Mereka kelelahan berperang, lelah jadi 'miskin'.

Dua figur kemudian tampil di ajang Pilpres. McCain si jenderal perang yang berjanji akan melanjutkan kebijakan pertahanan Bush, dan Obama si aktivis hukum dan HAM yang menjanjikan penarikan pasukan dan perbaikan ekonomi. Seperti kita tahu, Obama menang.

Kita seringkali menghina Presiden SBY sebagai orang yang lamban, takut mengambil resiko, suka basa-basi dan terlalu kompromistis. Padahal, menurut saya, karakter SBY itu adalah karakter pada umumnya bangsa Indonesia saat ini.

Maling akan memilih maling. Koruptor akan memilih koruptor. Birokrat pemalas akan memilih birokrat pemalas.

Tidak mungkin maling memilih seorang penegak hukum, bagaimana nanti dia bisa maling lagi? Tidak mungkin koruptor memilih pemberantas korupsi, bagaimana nanti dia bisa korupsi lagi? Tidak mungkin birokrat pemalas memilih birokrat pekerja keras, bagaimana nanti dia bisa bermalas-malasan lagi?

Pemilu di Indonesia di era saat ini, menurut saya, program bukan jualan utama. Semua calon bisa membuat program bagus dan canggih, tinggal membayar orang. Yang terpenting adalah kesamaan karakter dengan pemilih.

Bila hari ini ada seorang Capres berkata di tivi, 'kalau saya jadi presiden, PNS yang terima suap akan saya potong tangannya,' kemungkinan besar dia akan kehilangan suara dari ratusan ribu PNS.

Bila kita adalah orang yang rajin menyuap polisi dan pegawai kelurahan, menyuap sekolah saat mendaftarkan anak, menyuap pejabat untuk dapat proyek, menilap uang yang bukan hak kita, sering bolos bekerja, menganggap uang dari serangan fajar itu rezeki dll, kita tak mungkin memilih pemimpin bersih, jujur, tegas dan pekerja keras. Tidak mungkin!

Dengan begitu kontrasnya karakter Prabowo dan Jokowi, lewat Pilpres 9 Juli nanti kita bisa segera mengetahui bagaimana sebenarnya karakter mayoritas bangsa Indonesia saat ini. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline