Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Tidak Boleh Berpikir Pada Saat Makan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang istimewa malam ini, saya (lebih tepatnya kami) makan malam di M*D ! (biasa aja kalee). Mengapa saya menganggap hal ini spesial? Tentu saja sebagai orang perantauan yang memiliki hobi berhemat, hal ini tentu sebuah kejadian yang sangat langka.

Berawal dari titah bibi kepada saya untuk mengajak anaknya yang sedang libur semester liburan, maka berangkatlah si adik sepupu, sebut saja namanya Yunus, ke asrama saya (Yunus masih kecil lho, kelas 1 MTs), dari pesantrennya yang terletak di Tasikmalaya. Bibi berpesan agar mengajak Yunus jalan-jalan sehingga bisa betah selama belajar di pesantren.

Sesuai dengan adat yang berlaku dalam keluarga kami, apabila ada saudara ataupun tamu yang datang berkunjung, maka sudah menjadi kebiasaan untuk mengajak makan yang bersangkutan. Berangkat dari hal itu, saya kemudian menawarkan kepada sang adik beberapa tempat makan yang ada tidak jauh dari asrama, M*D merupakan salah satunya. Setelah menyebutkan beberapa nama restoran, si adik pun dengan mantap menyebutkan M*D sebagai tempat makan malam (ya iyalaah, rumah makan lainkan namanya g familiar). Maka berangkatlah kami ke M*D seusai shalat maghrib.

Setibanya disana, seperti konsumen lain, kamipun memesan makanan, dan kemudian memilih untuk duduk didekat jendela, dan kebetulan dibagian luar jendela tempat saya menghadap terdapat sebuah kursi taman yang sekitar sepertiga dari kursi tersebut telah diduduki oleh si patung maskot restoran . Kami (lebih tepatnya saya)pun makan dengan lahapnya. Dan tidak lama kemudian sesuatu yang membuat dada saya terasa sesak pun terjadi.

Tidak beberapa lama setelah kami mulai makan, duduklah seorang ibu bersama dengan anak bayinya di kursi taman tersebut. Pada awalnya sih saya tidak begitu memperhatikan. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya saya melihat sang ibu sesekali melirik kedalam restoran sambil sesekali pula mencumbu bayinya. Entah apa arti tatapan sang ibu tersebut, saya sendiri tidak berani memberikan kesimpulan, namun saya yakin para pembaca akan mengerti apa arti dari lirikan tersebut.

Dari penilaian sekilas, sang ibu tidak terlihat seperti peminta-minta ataupun penipu yang sering ditemui di jalan. Ya, sang ibu hanyalah seorang wanita dengan pakaian yang sangat sederhana, namun dengan tatapan yang sangat dalam, dan hal itu membuat saya makan malam dalam keadaan merunduk, serta ingin selesai secepatnya.

Ringkasnya, saya berpikir telah mendapat teguran mengenai tindakan yang saya kerjakan saat itu, yaitu mengenai pemborosan. Teguran yang disampaikan dengan cara yang sangat manis. Saya merasa para pembaca pasti pernah merasakan teguran semacam itu juga. Sebab yang diperlukan untuk merasakannya hanyalah sedikit rasa empati.

(Sebuah artikel yang ditulis dalam keadaan ngaco karena setengah tidur)

Bandung, 110111

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline