Lihat ke Halaman Asli

Hilma Hasanah

Penulis pemula yang membutuhkan banyak kritik dan saran mendukung.

Cerpen | Dia Bapakku

Diperbarui: 2 Januari 2020   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dia, bapakku. Satu-satunya laki-laki yang pernah mengisi hatiku. Seseorang yang sangat berarti, dan kedudukannya tak kan pernah bisa diganti oleh apa dan siapapun. Bapak, berharga.

Sekelebat bayangan wajahnya hadir begitu saja di mata ini. Tergambar wajah senja bapak, dengan kulit yang sudah mulai kendur, dan warna yang tampak menghitam. Bisa ku lihat ada banyak kerutan di sekitar mata, menandakan bahwa usiamu tak lagi muda.

Bayangan wajahmu di pagi hari ini seolah membawa sukma ku untuk menjelajah ke masa masa lalu. Dimana kembali tergambar semua kebaikan dan cinta yang pernah kau beri padaku.

Aku memikirkan tentangmu, Pak. Tentangmu yang mondar-mandir tak tentu arah, gelisah. Gelisah saat ibu tengah berjuang melahirkanku. Lalu tentangmu yang tak menghiraukan apa-apa, berlari sekuat tenaga, tersenyum kepada dunia. Dan tanpa aba-aba, kamu memeluk ibu dan aku, putri pertamamu. Sorot matamu waktu itu, seolah mengatakan pada dunia tentangmu yang telah menjadi seorang Ayah untuk yang pertama kalinya.

Aku tidak tahu bagaimana saat aku dilahirkan. Tentang perjuanganmu, ekspresimu, dan apa yang kamu rasakan. Tapi aku yakin. Bahwa sesungguhnya, perjuanganmu lebih haru dari apa yang aku tulis dan dari apa yang aku tahu. Aku yakin itu Pak.

Masa terus berubah. Membawaku pada usia anak-anak. Sedikit ku ingat, bapak adalah seorang ayah yang berbeda dari bapak teman-temanku. Bapak tidak memanjakanku. Bapak tidak memberikanku apa yang aku mau. Tapi bapak telah mengajarkanku betapa tak baiknya bersifat berlebihan.

Aku merasa beruntung, Pak. Menjadi putri bapak. Yang saat masih kecil, sudah diajari banyak tentang agama. Bukan hanya tentang kebahagiaan saja. Tapi tentang bersyukur atas apa yang kita miliki.

Bapak, aku tidak tahu harus menggambarkanmu dengan kata-kata seperti apa. Aku kehabisan diksi untuk menjelaskan tentangmu. Meski bapak tak melahirkanku, tapi jasa bapak tak ubahnya ciptaan ALLOH yang bertebaran di dunia. Tak bisa kuhitung, Pak.

Bapak yang setiap malam aku tunggu kepulangannya dengan menonton televisi. Tapi tak kunjung aku temui. Hingga akhirnya, aku terlelap dan masuk ke alam mimpi. Hingga dua tangan besar membangunkanku. Tanganmu, Pak. Aku tahu itu tanganmu. Tapi aku memilih untuk terus terlelap di pangkuanmu. Berpura pura menutup mata, dan seolah tak tahu apa-apa. Saat itu, aku lihat bapak masih memakai pakaian yang biasa bapak gunakan untuk kerja. Ku lihat di dahimu ada banyak keringat yang juga membasahi sebagian kerah bajumu. Bapak? Kenapa bapak lebih mementingkan aku dari pada waktu istirahat bapak?

Bapak yang setiap hari bekerja. Mencari nafkah untuk keluarga kecilmu. Pernah aku bertanya, kalau bapak sayang aku, kenapa bapak harus kerja? Kenapa bapak gak di sini saja setiap hari? Aku tersenyum kecut mengingat itu. Betapa bodohnya aku. Tak memahami bahwa mencari nafkah adalah bentuk perjuangan, kepedulian, dan kasih sayang yang tiada tara.

Bapak yang setiap saat menggenggam tanganku. Melindungiku dari galaknya angsa peliharaan tetangga di ujung gang sana. Lucu memang. Tapi ini bukan tentang lucunya. Tapi tentang perjuangan bapak yang menggendongku, membawaku di pangkuannya lalu berlari semuat tenaga menjauhi angsa-angsa  itu. Waktu itu, Aku hanya bisa tertawa melihat Bapak yang terengah engah, lelah. Tanpa aku sadari, pahlawanku telah menyelamatkan hidupku untuk yang kesekian kalinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline