Matematika menjadi momok besar bagi sebagian besar murid di Indonesia. Masih banyak sekali siswa siswi yang merasa matematika adalah ilmu yang sangat sulit dan mengangap segala hal yang bersangkutan terhadap matematika adalah sesuatu yang sulit dan sering kali menghindarinya. Bahkan beberapa siswa memilih jurusan diperguruan tinggi dengan mencari prodi-prodi yang menurut mereka tidak akan bertemu dengan matematika, padahal matematika adalah ilmu dasar yang menjadi pondasi berbagai cabang keilmuwan lain seperti statistika, ekonomi, fisika,kimia biologi bahkan dalam hal arsitektur.
Hal ini memunculkan perspektif masyarakat bahwa seseorang dianggap pandai ketika mereka pintar dalam hal matematika. Mereka berfikir bahwa anak yang pintar matematika pasti bisa menguasai pelajaran lainnya dan dapat menjadi kebanggaan keluarga. Meski tidak sepenuhnya salah, tentunya hal ini sangat mempengeruhi mental seorang anak atau siswa. Di beberapa kasus orang tua bahkan memberikan les privat matematika bagi anaknya yang cenderung bersifat memaksa agar anak bisa menguasai matematika. Tentu saja ini adalah hal yang baik tetapi jika dalam porsi yang berlebihan keadaan ini malah semakin memperburuk keadaan mental anak. Seperti layaknya anak lainnya yang berfikir bahwa matematika adalah sesuatu yang sulit lalu mendapat tekanan dari orang tua dan lingkungan tentunya menambah tekanan untuk anak dan membuat anak berfikir bahwa dia harus bisa matematika dan jika tidak maka dia adalah anak yang bodoh, bahkan di keadaan yang lebih ekstrim anak dapat merasa dia tidak berguna dan tidak dihargai oleh lingkungannya.
Di keadaan lain, siswa memang tidak mendapat tekanan dari orang tuanya, tetapi tekanan itu malah datang dari tenaga pendidik. Hal ini tidak hanya berlaku di pelajaran matematika tapi juga di pelajaran lainnya. Faktanya masih ditemukan guru yang bersikap pilih kasih dan menyepelekan murid yang tidak terlalu menguasai pelajaran yang diajarkannya. Sebenarnya hal ini sangat aneh karena sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia dari sekolah dasar hingga jenjang menengah atas masih membuat peserta didik mempelajari berbagai cabang ilmu pengetahuan lalu bagaimana bisa siswa dapat menguasai semua cabang ilmu pengetahuan tersebut? dan setiap guru pasti menekankan kepada siswa untuk dapat menguasai pelajaran yang mereka ampu.
Kedua kasus tersebut, meski tidak selalu begitu, tentunya sangat mempengaruhi mental siswa. Dalam dunia pendidikan tentunya selalu ada tekanan tersendiri tetapi jika berlebihan tentu tidak baik untuk mental anak dan akan mempengaruhi pola pikir anak. Keadaan-keadaan diatas membuat siswa melakukan segala cara agar dirinya dianggap dan dihargai, terlebih ketika standart menguasai pelajaran adalah nilai dan nilai tersebut hanya berdasarkan hasil evaluasi berupa ujian.
Sikap dan proses yang dilalui oleh siswa hanya menjadi sebagian kecil dari "nilai" tersebut yang terkadang malah tidak berpengaruh sama sekali. Hal ini membuat siswa hanya berfokus pada nilai bukannya pemahaman dan karna nilai diambil berdasarkan hasil ujian, siswa menghalalkan segala cara agar mendapat nilai yang bagus. Ironinya kebanyakan siswa memilih cara mencontek daripada belajar, kembali lagi hal ini disebabkan oleh standart penilaian hanya berfokus pada hasil ujian sehinggan siswa berfikir buat apa belajar? Yang terpenting hanyalah nilai yang diperoleh dapat memenuhi standart yang berlaku.
Pola pikir ini sangat mempengaruhi sikap yang dimiliki oleh seorang siswa. Kebiasaan mencontek yang dilakukan siswa mengajarkan mereka bersikap tidak jujur. pola pikir ini sudah ada sejak jenjang sekolah dasar dan sangat besar kemungkinan kebiasaan ini sudah mendarah daging pada diri peserta didik. Sebenarnya hal kecil inilah yang menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari salah satunya seperti kasus korupsi dan kejahataan-kejahatan lainnya.
Dalam dunia pendidikan, sikap tidak jujur siswa juga menjadi masalah besar, karena ketidakjujuran siswa ini menimbulkan indikator bahwa pembelajaran serta evaluasi yang dilakukan tidak berhasil karena pada kenyataanya siswa tidak paham akan ilmu yang dipelajari meskipun nilai yang didapat telah memenuhi standart. hal ini juga didukung oleh observasi yang dilakukan penulis pada sebuah sekolah swasta yang ada di Semarang. Dari dua puluh delapan pertanyaan hanya tiga pertanyaan yang valid ketika dilakukan uji validitas, dan dari empat pertanyaan tentang pemikiran kritis siswa dalam menyelesaikan tugas yang diberikan hanya ada satu pernyataan yang bernilai valid. Hal ini menunjukkan bahwa dari beberapa pertanyakan yang diajukan sebagian besar siswa menjawab dengan berbohong.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum jika tenaga pendidik sering melakukan rekayasa nilai. Meski ketika ujian siswa seringkali menyontek, hasilnyapun seringkali mengecewakan karna pada dasarnya mereka tidak menguasai materi yang ada, terlebih dalam bidang matematika. Hasil ujian siswa yang tak dapat mencapai standart tersebut direkayasa oleh guru hingga dapat mencapai standart yang ada karna akan menjadi masalah lagi ketika sebagian besar kelas tidak lulus ujian. Padahal ketika sebagian besar siswa tidak dapat memahami pelajaran maka yang harus disalahkan adalah metode pembelajaran yang diterapkan. Maka sebaiknya bukan nilainya yang direkayasa tetapi bisa saja metode yang diterapkan harus diubah karena tak lagi efektif untuk menjelaskan materi.
Rekayasa nilai ini juga disadari oleh peserta didik sehingga secara tak langsung tenaga pendidik juga mengajarkan siswa untuk bersikap tidak jujur. ironi sekali melihat fakta bahwa pada elemen utama dalam bidang pendidikan mengajarkan dan melakukan hal ketidakjujuran ini. selain itu, hal ini juga membuat siswa malas untuk belajar. Buat apa belajar, nilai jelek pun akan berubah baik di rapot siswa. Kemalasan ini membuat siswa tidak dapat berkembang sehingga akan susah untuk mereka berpikir kritis dan peka terhadap hal-hal disekitarnya.
Melihat hal-hal diatas menguatkan argument bahwa terdapat kesalahan pada system pembelajaran yang ada dan menunjukkan kegagalan sistem pendidikan yang ada. Kegagalan tersebut sangatlah berpengaruh dalam bidang lain karna pendidikan adalah pondasi yang harusnya menjadi pijakan kuat dala kehidupan. Meski tidak semuanya seperti itu tetapi hal ini menimbulkan kemungkinan seseorang lulus tanpa kompetensi yang diharapkan. Keadaan ini sangat mempengaruhi seseorang ketika mereka masuk dalam dunia kerja. Seorang lulusan dengan kompetensi bidang tertentu harusnya mampu untuk bekerja di bidang tersebut, tetapi karena dia lulus tanpa kompetensi yang sesuai akan susah untuk dia masuk ke dalam dunia kerja di bidang tersebut, dan karena terdesak keadaan membuat dia harus bekerja tidak sesuai bidangnya. Hal ini tentu menimbulkan masalah baru ketika dia tak kunjung menemukan perkerjaan yang dapat ia lakukan. Ini juga dapat menjadi akar dari masalah kemiskinan yang ada di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H