Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Ibu dari Anak Penyandang Disabilitas

Diperbarui: 29 September 2015   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sustiyah (36) merupakan seorang ibu dari anak berkebutuhan khusus di Kota Jambi. Susah dan senang, ibu dua anak yang menghabiskan waktunya sebagai ibu rumah tangga ini telah lewati untuk membesarkan anaknya selama 9 tahun. Sejak umur 4 bulan, sang anak telah menunjukkan tanda-tanda adanya kelainan mental. Dokter di salah satu rumah sakit di Kota Jambi kala itu menyatakan kalau anak laki-laki dari ibu Sustiyah ini mengidap autisme, akan tetapi setelah dirujuk ke salah satu rumah sakit jiwa, sang anak didiagnosis menyandang penyakit gangguam mental organik (GMO) dan epilepsi. “Dokter rumah sakit jiwa mengetes anak saya dengan memanggil-manggil namanya, dan anak saya pun menoleh ketika dipanggil. Seteleh melakukan tes lanjutan, barulah dokter menyatakan kalau anak saya ini menderita GMO bukan autis” kata ibu Sustiyah. Perlu diketahui bahwa GMO sangatlah berbeda dengan autisme. Penderita GMO mengalami disfungsi otak baik temporer atau permanen, sedangkan autisme merupakan kelainan perkembangan saraf pada otak yang sering disebabkan oleh faktor bawaan orang tua.

Seorang anak penderita GMO cenderung memiliki dunianya sendiri dan hiperaktif, begitupun dengan anak ibu Sustiyah. Setiap bangun pagi sang anak menghabiskan waktunya dengan bermain ayunan dan mendengarkan musik. Ketika diputarkan dvd lagu anak-anak, sang anak tertawa dan loncat-loncat kegirangan. Saat berusia 7 tahun, sang anak disekolahkan di salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Kota Jambi, akan tetapi tak selang beberapa hari, sang anak tidak mau bersekolah dikarenakan sulitnya menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Anak ibu Sustiyah ini tidak bisa berbicara layaknya anak normal kebanyakan. Jika ia menginginkan sesuatu, ia akan menarik tangan orang-orang disekitarnya, dan itulah cara ia berkomunikasi dengan orang lain. Di usia yang akan menginjak 10 tahun, sang anak masih harus dibantu oleh sang ibu ataupun orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, buang air, dan makan.

Sang ibu setiap bulannya mengantarkan anaknya tersebut berobat ke rumah sakit jiwa yang terletak di kawasan Pattimura Kota Jambi. Ia berkonsultasi dengan dokter mengenai perkembangan anaknya. Selain itu, dokter memberikan resep obat-obatan yang membantu perkembangan otak anak ibu Sustiyah. Sang anak membutuhkan dua botol obat seharga kurang lebih Rp. 200.000/botol setiap bulannya. Obat tersebut dikonsumsi selain untuk perkembangan otak sang anak, tetapi untuk pencegahan agar sang anak tidak mengalami step. “Dua botol ini biasanya dihabiskan dalam sebulan. Dulu kan anak saya tuh sering step, lalu dokter menyarankan untuk minum obat ini. Alhamdullilah, sudah satu tahun belakangan ini, dia tidak step lagi” tutur ibu sustiyah. Selain obat untuk perkembangan otak, sang anak juga mengkonsumsi obat penenang. Jika sang anak tidak bisa tidur, terpaksa orang tua memberikan obat tersebut, agar sang anak bisa tidur, tetapi hal ini jarang dilakukan baik oleh ibu Sustiyah ataupun suaminya.

Keluarga dari ibu Sustiyah terkadang prihatin melihat keadaan sang anak ataupun ibu Sustiyah sendiri. “Terkadang kami  merasa kasihan pada Sus (panggilan akrab ibu Sustiyah). Ibaratnya kita membesarkan anak normal saja terkadang merasa kerepotan, apalagi Sus yang anaknya memiliki keterbatasan. Kami sebagai keluarganya memang tidak bisa melakukan banyak hal, selain hanya mendukung dan membantu semampu kami” ungkap Sopiyah kakak ibu Sustiyah. Penyakit GMO ini sulit disembuhkan, karena yang diidap anak ibu Sustiyah bersifat permanen. Dokter mengatakan akan sulit untuk mengharapkan anak ini bisa hidup normal seperti anak-anak kebanyakan, bisa menulis, membaca, dan berhitung. Ibu Sustiyah merencanakan untuk menyekolahkan anaknya kembali tahun depan di salah satu SLB di Kota Jambi. Hal ini dikarenakan anak perempuan ibu Sustiyah yang berusia 5 tahun akan mulai bersekolah SD di dekat rumah neneknya, jadi tidak akan terlalu merepotkan jika sang ibu harus menunggui anak pertamanya di SLB. Ibu Sustiyah berharap, kelak anaknya tersebut dapat mengurusi kebutuhan pribadinya sendiri seperti mandi, buang air, dan makan tanpa bantuan orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline