Lihat ke Halaman Asli

Hils@Rendezvous

Duty Station @Central Sulawesi

Desa-desa di Indonesia Bertabur Uang (ComDev)

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141183" align="alignleft" width="273" caption="desa di NTT-google.com"][/caption] Dua bulan lalu saya bertemu dengan teman-teman yang bekerja dalam pelayanan masyarakat di 8 kabupaten di propinsi Nusa Tenggara Timur. Melihat perkembangan yang terjadi, miris menyaksikan, bahwa begitu banyak bantuan, entah itu berupa dana, alat-alat maupun proyek-proyek, namun masyarakat desa kita tetap miskin. Apa yang terjadi? Kemana saja uang dan proyek-proyek itu sebenarnya? Apakah benar itu mendidik dan memampukan masyarakat desa untuk keluar dari masalah mereka, dari kemiskinan mereka? Atau malah lebih membuat mereka terpuruk dalam kesulitan hidup? Contohnya saja, di desa-desa wilayah NTT, dana-dana yang bisa diakses oleh masyarakat terdiri dari, dana ADD (Anggaran Dana Desa) sebesar 40 juta per desa, PNPM sebesar minimal 100-150 juta per desa dan dana Anggur Merah sebesar 250 juta. Jika dijumlahkan seluruhnya saja, satu desa mempunyai dana sebesar hampir 400 juta, mendekati 1/2 Milyar per desanya. Contoh lain, di daerah Papua saja ada desa yang harus mengurus dana 1 milyar untuk pembangunan desanya (dana-dana Otsus)? Masyarakat sudah tidak mengurus kebun atau ladangnya lagi karena banyak pertemuan di desa, mereka datang di pertemuan hanya untuk mendapatkan uang duduk, 150-200 ribu per orang yang datang pertemuan, lalu uang tersebut dibelikan supermi untuk makan anak-anaknya. Proyek dan uang bertaburan di desa-desa kita...namun anak-anak tetap kurang gizi, dan sendi-sendi kehidupan lokal mulai hancur. Itu baru 2 wilayah di Indonesia, belum lagi wilayah-wilayah lain di tanah air ini, berapa banyak desa-desa yang sudah menerima bantuan tapi sia-sia tidak termanfaatkan dengan baik? Nah, mengapa dengan begitu murah hatinya pemerintah (meskipun PNPM merupakan dana pinjaman Bank Dunia alias hutang kita juga) memberikan bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di tiap desa di Indonesia, dan juga lembaga-lembaga, entah itu LSM maupun NGO, namun masyarakat kita tetap saja tidak berdaya, anak-anaknya masih tidak sekolah dan dan terperangkap dalam kemiskinan? Menurut pengamatan di lapangan, ada beberapa penyebab sampai dana tersebut tidak bisa tersalurkan dengan baik di masyarakat:

  • Masyarakat hanya menjadi obyek bantuan
  • Pemerintah atau lembaga tidak sepenuhnya memampukan rakyat untuk mengelola dana bantuan yang ada. Di atas kertas sepertinya memang tujuan bantuan-bantuan tersebut memampukan rakyat untuk kemandirian mereka ke depannya, namun ternyata dalam tindakan dan realisasinya hal tersebut tidak terjadi
  • Tidak ada koordinasi antar lembaga yang mempunyai sumber daya, seharusnya lembaga-lembaga ini
  • Mengkolaborasi program-program yang ada
  • Kebijakan-kebijakan dari tingkat propinsi sampai desa (makro-messo-mikro)
  • Menyepakati satu system dalam desa, laporan keuangan yg seharusnya satu saja (membangun system merupakan kesulitan, dan menyebabkan banyak terjadi korupsi
  • Lembaga atau pemerintah lebih mengejar target proyek supaya cepat selesai dan cepat habis uang tanpa mengindahkan proses yang terjadi di masyarakat

Jadi apa sebenarnya yang perlu dilakukan bersama antara lembaga-lembaga yang member bantuan, pemerintah maupun masyarakat? Karena sebenarnya masyarakat sendiri mempunyai visi mereka masing-masing, saat sekarang kan biasanya visi dalam pencapaian program datang dari atas dan langsung di terjunkan ke masyarakat. Bukankah lebih baik jika masyarakat yang dilatih untuk merencanakan dan mengelola serta mengakses program-program bantuan yang ada di desanya, dan para penyandang dana, seharusnya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal memberdayakan, memampukan dan menghubungkan masyarakat dengan lembaga-lembaga lain supaya mereka mampu mengakses langsung ke sumbernya? Menfasilitasi dan menghubungkan memang baik, tapi tidak berarti selamanya menjadi penghubung. Kapan masyarakat mampu melakukan hal itu kalau kita tidak membuat mereka mampu melakukannya? "Go to the people, live among them, learn from them, love them..." (credo community development)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline