Lihat ke Halaman Asli

Hils@Rendezvous

Duty Station @Central Sulawesi

Saya Sebagai Apresiator Atau Kritikus?

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tulisan saya sebelumnya tentang Sastra Instant yang agak mengusik dunia fiksiana sehingga melahirkan puluhan postingan dan ratusan komentar membuat saya merasa sedikit bahagia karena mengetahui ada juga ternyata Kompasianers yang tertarik dengan isu sastra yang selama ini saya pikir sedikit yang berminat di dunia Kompasiana.

Untuk menyikapi kritikan, komentar dan masukan terhadap tulisan saya dan menganggap saya tidak mempunyai hak untuk menilai atau menghakimi (saya sendiri lebih suka menyebutnya mengkritik) karya-karya yang lahir di dunia fiksiana dan akhirnya menggeliat ke permukaan akan istilah (yang sebenarnya sudah lama ada) tentang Sastra Instan, akhirnya saya membuat tulisan ini.

Blessing in disguise juga sih, karena di satu sisi tentunya selain tulisan itu menuai banyak kritikan tajam, di sisi lain saya melihat begitu banyak postingan menyoal tentang Sastra Instant dari berbagai segi, saya menganggap semuanya sebagai suatu apresiasi, dan ini membuat saya tergelitik, karena ternyata banyak Kompasianer tertarik untuk mendiskusikan isu sastra yang selama ini jarang yang membahasnya, yaitu tentang kritisi atau penilaian terhadap karya sastra (termasuk di dalamnya fiksi).

Menurut saya, seperti ahli semiotik, Roland Barthes menyatakan, “Pengarang telah mati” pengertiannya, jika suatu karya sudah di published di umum, maka karyanya/tulisannya sudah milik umum. Sang penulis sebenarnya sudah tidak ada. Publik berhak mengapresiasi, menilai karyanya itu dalam segala ranah yang terwakili. Bukan pengarang yang berhak mengapresiasi karyanya, melainkan ranah publik (termasuk di dalamnya jurnalisme warga) lebih jauh lagi untuk sastra, ada kritikus sastra yang mampu melihat karya itu lebih dalam lagi sesuai keilmuannya.

Karya sastra yang dihasilkan seyogyanya mempunyai kegunaan setidaknya pencerahan bagi yang membacanya (art for life) Setelah membaca karya novel atau puisi kita, orang lain akan mengambil pembelajaran dari hasil karya kita. Bukankah demikian yang dialami banyak orang, dalam hatinya serasa berkobar-kobar setelah membaca karya Chairil Anwar, Sutarji ataupun Rendra? Ataupun setelah menyelesaikan pembacaan karya Pramoedya, Linda Christanty ataupun Andrea Hirata, kita merasakan betapa cerdas dan meresapnya tulisan mereka, menjadi pencerahan dan menambah nilai hidup kita?

Saya mungkin orang yang memilih prinsip art for life (seni untuk sosial/masyarakat). Perlulah kita jujur pada diri sendiri, tidakkah kita merasa bahagia dan senang jika karya kita dibaca banyak orang? Menjadi pencerahan, di komentari dan kemudian didiskusikan lebih dalam lagi? Kemudian apa yang terjadi setelah timbul kesadaran dari pembacanya? Kegairahan dalam hidup menjadi meningkat, perlawanan bagi hal-hal yang dilihat tidak adil dan inhuman di sekitarnya semakin menguat dan akhirnya? Apakah yang terjadi dengan masyarakat yang tingkat kesadaran humanisme di negerinya tinggi? Korupsi, kejahatan dan ketidak adilan pastinya akan lebih kecil. Mungkin saja kesadaran dan pendidikan sastra yang kurang di negeri kita menyebabkan Negara kita terpuruk di lembah korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela.

Sebagai Apresiator

Mudahnya, apresiator adalah seseorang yang mampu mengapresiasi suatu karya sastra. Saya sendiri lebih suka mengambil konsep pemahaman dari Stanley Fish mengenai teks polisemik yang membawa pembaca pada tingkatan beresiko akibat membaca suatu teks (entah itu karya sastra, fiksi maupun teks lainnya).

Konsep ini akan membawa pembaca dalam posisi yang kurang nyaman dan mengganggu, mengapa? Karena dalam hal ini sebelum membaca tentunya dalam kepala si pembaca ini sudah mempunyai konsep pemikiran dan pengalaman hidup diri mereka sendiri. Nah, jika kemudian karya yang ditawarkan dan dibaca menjadi pengganggu dalam diri pembaca dan secara tidak langsung membuat pembacanya harus menghayati dan meneliti hal-hal yang mereka percayai dan kehidupan mereka sendiri lalu pada akhirnya suatu karya itu meminta kepada pembaca untuk menemukan kebenaran mereka sendiri dan lebih jauh juga kadang kepada harga diri pembaca itu (intinya sih seperti bercermin, merefleksikan).

Daripadanya lah kemudian lahir opini-opini, komentar-komentar yang mengapresiasi tulisan tersebut secara baik maupun berlawanan. Itulah proses pembacaan yang mendalam. Menurut saya Pembaca mampu menjadi apresiator yang baik jika ia telah melewati proses di atas tersebut.

Pertanyaannya sekarang ke kita semua, apakah sedalam ini kita membaca karya-karya Kompasianer di ruang Fiksiana sebelum kita memberikan komentar ataupun opini, atau hanya karena sekedar teman, basa basi, ketawa-ketiwi, yang penting kelihatan bahwa kita sudah membaca tulisan Kompasianer tersebut? Katanya dunia fiksiana menjadi ruang belajar bagi semua Kompasianers?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline