Lihat ke Halaman Asli

Hils@Rendezvous

Duty Station @Central Sulawesi

Tiga Penyair Trias Politika Kompasiana

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_144007" align="alignleft" width="185" caption="trias politika-google"][/caption]

Siapa tidak kenal dengan ketiga penulis sekaligus penyair kondang di Kompasiana ini? Ketiga penyair senior yang malang melintang di dunia persilatan politik perkompasianaan ini. Saya menyebutnya dengan penyair Trias Politika, mengacu kepada tulisan Montesquieu,  dalam the Spirit of Laws, yang menggagas doktrin trias politika yang kemudian menjadi 3 pilar penting negara yang menganut system demokrasi.

Nah, karena 3 penyair ini menurut saya mostly, menuliskan puisi-puisinya dalam satu tema: protes politik dalam pemerintahan kita, keadaan yang mencemaskan dari para anggota dewan di negara kita, dan ketidak adilan di negeri kita, meskipun ada beberapa juga yang menyoal tema kemanusiaan, namun tetap nuansanya politik.

Karya-karya mereka, terutama puisi (karena saya hanya akan menfokuskan tulisan-tulisan resensi saya pada ranah sastra) mengingatkan saya akan puisi-puisi penyair kondang Pablo Neruda dari Chili , Sapardi Djoko Damono dan Langstone Hughes (penyair kulit hitam yang memberontak terhadap system rasialis di Amerika Serikat) yang juga terkenal dalam tulisan-tulisan mereka tentang politik di negaranya masing-masing.

Seperti dalam liriknya yang terkenal, Neruda menuliskan: As if suddenly the roots I had left behind/Cried out to me, the land I had lost with my childhood---/And I stopped, wounded by the wandering scent… (The White Mans Burden). Dan Sapardi Djoko Damono, penyair terkenal kita menulis: "Jangan bermimpi!" gertak mereka/Suara itu terpantul di bawahjembatan dan tebing-tebing sungai/Api menyulut udara lembar demi lembar, lalu meresap ke pori-pori kulitnya/Ia tak memahami perintah itu dan mereka memukulnya, "Jangan bermimpi! "/Ia rubuh dan kembali bermimpi tentang mata air dan .....(Sajak Subuh, 1982). Lalu, Hughes menyiratkannya dalam kata-kata: I dream a world where all/Will know sweet freedom's way/Where greed no longer saps the soul/Nor avarice blights our day/A world I dream where black or white/Whatever race you be…(I dream a World)

Siapakah 3 penyair senior tersebut?

Yang Pertamanya

Penyair ini sudah menuliskan 240 puisinya di kolom fiksiana Kompasiana, wow..luar biasa ya. Dan isi puisinya sebagian besar mencerminkan kegundahan dan kemarahannya terhadap carut marut elit politik (baca: trias politika) dalam Negara ini. Karya-karyanya yang lugas dan tanpa basa basi serasa menelanjangi kebobrokan negeri ini. Contohlah satu puisi yang membahana ini:

“…Kursi Setan itu dipuja-puja bagai berhala, yang diperebutkan seakan tahta raja yang berkuasa tanpa batas, menggelapkan mata dan membutakan hati untuk bisa mendapatkan……….

Kursi Setan yang Diperebutkan

Ada lagi 2 puisinya yang patut kita simak yaitu tentang presiden yang suka bohong dan mengenai para bandit yang menguasai Negara kita ini.

Penyair SDD (Sapardi Djoko Damono) sering juga menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti dan lugas seperti yang dipakai penyair ini, sehingga mudah menangkap apa maksud dari puisi-puisi penyair ini.

Yang Keduanya

Tiga karyanya yang menginspirasi saya dan menurut saya benar-benar mencerminkan seseorang yang telah makan pahit manisnya hidup ini dan getirnya kekuasaan di beberapa Negara. Kadang membacanya membuat kita ikut sedih dan membara karena amarah, apalagi jika ditambah foto-foto keadaan anak yang begitu memerihkan hati. Sungguh hati menjadi merana. Dalam tulisannya untuk politik Indonesia, ia sangat suka membandingkan antara kepentingan segelintir kelompok dalam kekuasaan dengan kepentingan anak-anak yang terlantar, anak jalanan dan tidak ada yang mengurus mereka, karena Negara pun sepertinya lupa, bahwa ada warganegara seperti mereka dalam negaranya.

Menurutku tiga karyanya ini benar-benar bisa memukau pembacanya:

Tentang gugatan Indonesia terhadap pemerintahnya, ratapan seorang anak Indonesia dan meskipun dalam sepi mendera serta protes berkecamuk, tetap mengingat sang kekasih dalam kenang dan impiannya.

Penyair yang sedikit flamboyan di puisi-puisinya namun sangat keras dan to the point dalam tulisan-tulisannya yang lain. Kehidupan yang mengajarkan bagaimana kerasnya hidup ini sejak masa kanak-kanak sangat tercermin dalam puisi-puisinya. Humanis dan pecinta anak-anak yang menderita. Merupakan tema yang juga sering diusungnya dalam karya-karyanya yang lain.

Yang Ketiganya

Saya pikir semua Kompasianers aktif pasti mengenalnya. Si Penyair ini dengan keunikannya yang hampir selalu mempostingkan tulisannya pada pukul 00:00 atau lebih sedikit dan dengan model tulisan yang pasti akan selalu dikenal bahwa dialah satu-satunya penyair di Kompasiana yang menulis seluruh tulisan dan puisinya dengan HURUF KAPITAL.

Tiga pilihan puisi saya untuk penyair ini yaitu “Kami Bangsa Merdeka”, Jendral Kancil dan Jejak Kami tak akan Hilang Jejak, akan mengingatkan kita bahwa penyair senior ini benar-benar mencintai Negara dan melihat cermin kebangsaan serta pesan-pesan moralnya diletakkan dari nasihat-nasihat di dalam karya-karyanya. Jarang saya membaca puisi yang dituliskan dengan memuat budaya lokal seperti penyair ini. Sehingga kadang puisinya mengalun seperti musil tradisional Jawa dengan gending-gendingnya yang lembut dan penuh makna.

Ada satu cerita yang menggugah saya tentang hubungan antara puisi dan politik sehingga mendorong saya menuliskan resensi ini:

…”Suatu hari, di depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956, seorang anggota senat Amerika Serikat berusia 39 tahun berkata, "jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."

Tujuh tahun kemudian orang yang sama, tetapi kala itu telah menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-35 berkata, "ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbatasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan. "….

…………… "Adalah nyaris sebuah kebetulan bahwa Robert Frost mengawinkan puisi dan kekuasaan, karena dia melihat puisi sebagai upaya menyelamatkan kekuasaan dari kekuasaan itu sendiri……”

Semoga penyair trias politika Kompasiana ini akan menjadikan puisi-puisinya seperti pilar-pilar demokrasi yang melawan tirani kekuasaan di tanah air kita.

Salam Sastra

@ dari teriknya Bumi Tadulako siang ini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline