Lihat ke Halaman Asli

Hilda Safira Dwi Lestari

Tambah keterangan

Tradisi Tahunan di Desa Gumeno Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik

Diperbarui: 19 Desember 2022   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tradisi Masyarakat Desa Gumeno

Menurut seorang ahli struktur bahasa jawa, kemungkinan besar kata "sanggring" berasal dari kata "gring" atau "agring" dan mendapat kata imbuhan awal "sa". Oleh karena itu dapat disimpulkan kata "sanggring" berhubungan dengan sakit. Arti kata ini erat kaitanya dengan kepercayaan masyarakat tersebut terhadap sejenis makanan (ada sebagian orang yang menganggap sayur dan ada juga yang menganggap sebagai kolak). Yang apabila dimakan dipercaya akan menyembuhkan penyakit yang ada pada dirinya. Ada juga penduduk yang mengartikan kata "sanggring" dengan sing gesang ojo gering (yang hidup jangan sakit).

Hal tersebut untuk menjaga agar tidak sakit atau menyembuhkan penyakit.
Adapun pengertian sanggring menurut masyarakat Gumeno sendiri kata sang berarti raja atau penggedhe dan gering (bahasa orang Gresik) artinya sakit. Sanggring beerarti raja yang sakit. Dua kata tersebut tak luput sebagai pengenang sejarah asal mula adanya tradisi itu sejak beberapa abad lalu oleh raja yang memerintah di Gumeno yang merupakan daerah kekuasaan Giri Kedaton, yakni Raja Zainal Abidin (putra mahkota Sunan Giri).

Secara historisnya, raja Zainal Abidin adalah puta mahkota Sunan Giri yang tinggal di bagian timur dari istana Giri Kedaton. Setelah wafatnya prabu Satmata, Zainal Abidin diutus menjadi raja penggantinya dan bertahta di Istana Giri Kedaton yang ada di atas bukit. Saat berkuasa Zainal Abidin diserang oleh pasukan Terung yang dipimpin oleh Adipati Sengguruh (Raja Sengguruh Malang Selatan). 

Sebagian sisa pasukan Majapahit diajak sang raja untuk mengungsi ke daerah Gumeno, lalu mendirikan sebuah masjid di desa tersebut (sebagai cikal bakal dari Masjid Jami' Sunan Dalem) dan memerintahkan masyarakatnya untuk ikut pindah dan menetap di daerah masjid tersebut. Dikarenakan saat itu desa Gumeno belum ada, masih menjadi semak belukar.

Di tengah perjalanan pembangunan masjid dan perkampungan baru, Zainal Abidin (Sunan Dalem) jatuh sakit. Sehingga seluruh masyarakat yang ikut pindah dan santrinya disuruh mencarikan obat untuk kesembuhanya. Namun, tidak ditemukan obatnya. Dengan arif dan bijaksananya beliau memerintahkan seluruh masyarakat untuk berkumpul dan masing-masing membawa ayam jago kemudian di sembelih. Lalu, Zainal Abidin meracik bumbu yang kemudian menyuruh masyarakatnya untuk dimasak guna dibuat berbuka puasa. 

Setelah matang masyarakat disuruh berkumpul kembali untuk menikmati menu berbuka puasa yang tadi telah disiapkan, kemudian beliau mengumumkan atas kesembuahanya. Pada akhirnya kata sanggring menjadi sebutan untuk masakan berbuka puasa bersama yang telah diracik rempah-rempahnya oleh Zainal Abidin (Sunan Dalem) sendiri.

Yang menjadikan tradisi ini sebagai tradisi yang dinilai unik yaitu hanya dilakukan oleh kaum lelaki saja. Baik dari segi persiapan dunia perbumbuan, memasak nya sampai pada penyajian semua hanya dilakukan oleh kaum lelaki tanpa adanya campur tangan dari pihak perempuan sama sekali. Hal inilah yang menjadi ciri khas dari tradisi sanggring yang hanya dilaksakan pada malam 23 Ramadhan saja atau setahun sekali yang dilakukan di masjid desa Gumeno dengan diikuti oleh banyak masyarakat baik masyarakat asli desa Gumeno, luar desa bahkan luar kota demi ikut memeriahkan, melihat serta merasakan bagaimana cita rasa yang dihasilkan ketika makanan khas itu dibuat dari tangan kaum lelaki.

Dilihat dari perkembanganya, tradisi sanggring tak hanya sebagai menu berbuka puasa di satu waktu untuk bersama saja. Melainkan memiliki sejarah panjangnya sendiri, begitu juga dengan simbol yang terkandung didalamnya yang kaya akan makna, fungsi, dan kearifan nilai baik dilihat dari sudut pandang agama, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Maka dari itu dibutuhkan pengkajian khusus mengenai makna simbolik dan nilai filosofis secara khususnya. Sehingga dapat difahami, adanya tradisi sanggring tak hanya sebuah ritual di malam 23 ramadhan yang dilakukan masyarakat Gumeno dan orang pendatang yang ingin tau saja. Karena sanggring merupakan suatu fenomena simbolisasi beragamnya masyarakat yang sampai saat masih dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat setempat sebagai kearifan lokal.

Meskipun demikian terdapat beberapa hal yang sedikit ada perubahan yaitu alat yang digunakan bukan lagi menggunakan kuali dan alat masak lainya yang tidak asli dari masa sunan Dalem. Hal ini dikarenakan, alat memasak tersebut hanur karena termakan usia yang kemudian digantikan dengan alat memasak yang modern (aluminium) bukan lagi menggunakan tanah liat.
Terdapat beberapa fenomena yang dapat kita lihat dari adanya tradisi ini, yaitu:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline