Suatu hari saya kedatangan teman-teman saat mondok dulu. Mereka adalah Fathan, Hisyam, dan Luthmen. Empat gelas kopi menjadi pemantik diskusi malam itu. Kami menikmatinya seraya menyaksikan kuncup bunga teratai berwarna merah muda yang berjoged oleh karena hembusan angin malam.
Kau tahu? Kopi sederhana itu kian bernilai tinggi sebab dinikmati dalam suasana kaki gunung Cakrabuana. Barangkali suasana itu merupakan hal yang jarnag ditemui bagi mereka yang terbiasa membunuh waktu di perkotaan.
Obrolan tak tentu arah itu berbelok ke kanan, berbelok ke kiri, lalu memutar. Hingga kemudian berhenti sejenak pada sebuah tepian tentang Pendidikan Muhammadiyah. Yap dulu, saat nama Indonesia belum lahir ke bumi.
Pemerintahan Kolonial membagi masyarakat di tanah ini dalam tiga kategori: Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Namanya juga bangsa terjajah, berada di posisi ujung hal yang niscaya. Nyaris terdagradasi kalo liga bola.
Posisi bangsa kelas tiga itu jelas tidak menguntungkan, terutama dalam konteks ekonomi. Yang ada hanya diperas tenaganya sampai tak berdaya, dieksploitasi lahan dan hasil pertaniannya, seperti jalanan di pantai utara jawa yang banyak ditetesi oleh darah pekerja pribumi.
Yakali dalam kondisi punya duit banyak, hanya anak pembesar pribumi sajalah yang berduit. Tidak punya uang berimbas pada ketidakmampuan untuk meneguk madu ilmu di Institusi pendidikan. Buat orangtua yang penghasilannya kurang dari 100 gulden, hanya mampu mengelus-elus dada tanpa adanya hal yang bisa diperbuat.
Tetapi tak jauh dari nol KM Kota Yogyakarta, ada seorang Kiai yang mencoba menerobos benteng itu, ialah Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD). Sebelum Ia mendirikan persyarikatan Muhammadiyah, didirikannya lebih dahulu sekolah, ya sekolah, tempat untuk belajar baik keilmuan maupun kehidupan.
KHAD tidak punya anggaran untuk beli tanah dan mendirikan bangunan, tetapi darahnya mungkin tersengat energi perubahan. Ia jadikan sebagian petak rumahnya sebagai kelas. Meja dan kursinya ia bikin bersama murid-murid setianya. Papan tulis, kapur, penghapus, semua instrumen itu ia beli sendiri.
Siapa yang akan belajar di sekolah sederhana itu? Anak-anak jalanan. Asal mau belajar, silakan datang, kalo perlu dijemput. Tidak ada persyaratan tentang tingkat ekonomi keluarga, semua bisa belajar.
Tempat belajar itu seakan menjadi angin segar buat gersangnya dunia pendidikan yang diskriminatif. Teologi Al Maun yang digaungkan hadir dalam kesengsaraan masyarakat. Alhasil, pendidikan memiliki fungsi sosial, dan agama mampu menjawab persoalan.
Angin malam kemudian menyelusup melalui pori-pori kulit, tak sempat Ia berpamitan gerak yang telah ditinggalkannya. Hisyam, kawan saya itu bercerita bahwa ada seorang anak ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) yang telah lulus ujian masuk ke sebuah Pesantren Muhammadiyah.