Perhelatan terbesar itu akan segera terselenggara. Panitia bertugas dengan sibuk mempersiapkan segala kebutuhannya. Para kandidat yang berkepentingan melakukan konsolidasi sana-sini untuk memuluskan keinginan yang hendak di raih. Di lain pihak, kader-kader IPM yang tak paham dinamika politik Muktamar berjalan secara polos menyiapkan ongkos agar dapat hadir menyambut perhelatan bergengsi itu.
Mereka yang polos, Impian mendapatkan ketua umum yang membawa perubahan besar mengelilingi alam pikirnya. Tetapi, pertanyaan tak kalah penting adalah juga, Bisakah ketua umum terpilih hasil Muktamar bisa menelurkan kebijakan inklusif, dan tidak eksklusif?
Intelektual kenamaan asal Amerika Serikat bernama Gabriel Almond mencetuskan teori unik untuk membaca sebuah Sistem Politik. Ia menyebut teorinya dengan Struktural-Fungsional. Dengan kata lain, teori itu hendak menjelaskan bahwa struktur akan secara determinan memengaruhi penampilan fungsi.
Selain itu, ada juga intelektual bernama David Easton menjelaskan tentang Input dan Output dari sistem yang tercermin dalam keputusan-keputusan yang dibuat (output) dan proses pengambilan keputusan (input) di dalam sistem tersebut.
Kedua teori itu berjalan secara berkelindan menghasilkan formula menarik: Budaya -> Struktur -> Fungsi -> Sistem -> Output. Dengan landasan seperti itu, saya ingin mengatakan bahwa sedang terjadi sebuah budaya di IPM yang sudah berurat-berakar yakni Budaya Feodalisme. Yup, boleh juga dikatakan Budaya Tirani.
Disinilah petakanya, ketika Budaya Feodalisme atau Tirani di IPM ini terjadi, ia menyebabkan satu struktur dimana organisasi tak lepas dari cengkraman senior atau aspek-aspek primordialisme. Struktur ini jelas menyeret, mencabik-cabik dan mengoyak secara bersamaan pada kebebasan para kadernya untuk semakin terbelenggu oleh kekuasaan senior atau primordialisme.
Maka tak heran bila secara fungsional, kepentingan yang dibawa ketika Muktamar adalah kepentingan kewilayahan atau Regional atau senior mana yang menjadi induk calon tersebut. Tatkala fungsi itu berjalan, maka ketika formatur (sistem) kepentingan yang dibawa jelas berakar dari budaya, struktur, dan fungsi diatas. Akhirnya, kita menjadi tak heran bila Ketua Umum terpilih menelurkan (output) kebijakan-kebijakan yang eksklusif.
Pola itu secara sadar atau tidak sadar terus bertumbuh subur di kebun-kebun hijau Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Bahkan mungkin, aliran nafas pengurus terpilih serta ketua umumnya makin melanggengkan Feodalisme. Keterpilihan kader yang sebenarnya belum layak duduk di kursi panas PP IPM merupakan konsekuensi logis dari Budaya Tirani yang sudah mencekam.
Apakah kita rela dan mau kader-kader ranting di akar rumput yang tulus ikhlas mengabdikan dirinya untuk berdakwah namun pada saat yang sama kita menciderai mereka oleh ulah-ulah kita yang buta akan kepentingan politik yang temporal? Oh tidak, dia terlalu mahal untuk digadaikan demi hasrat kekuasaan yang sesaat itu.
Percayalah bahwa ada yang lebih pelik tinimbang kita meributkan siapa PP IPM 1 atau 2 dan sesungguhnya inilah yang menjadi tantangan kita di IPM, menghancur-leburkan dinding kokoh Feodalisme itu, karena menjadi ketua umum berarti menjadi ketua bagi semua anggota, bukan separuh-separuh. Memang tidak mudah mengurai benang kusut yang sudah berusia, tetapi kalau kita mau memahami Al-Quran secara benar dan tulus, benang kusut itu pasti bisa diurai. Masalahnya tidak rumit amat, bahkan sederhana: bersediakah kita menundukan egoismse dan subjektivisme kita akan perintah Al-Quran tentang kesatuan dan persaudaraan umat?
Akhirnya, Al-Quran dlm Surah Ash-Shaff (61): 4 menggambarkan mereka yang berjuang di jalan Allah dlm barisan yang rapi. Sekarang renungkanlah kondisi IPM diatas, jangankan penaka bangunan yg kokoh, bangunan itu sendiri telah roboh di tangan elitenya yang merasa benar di jalan yang sesat.