Review book: Hukum Waris Perdata (Menerima dan Menolak Warisan oleh Ahli Waris serta Akibatnya.
Karya: Dra. Hj. Irma Fatmawati, S.H., M.Hum.
Editor: Iman Jauhari, S.H., M.Hum.
Penerbit: DEEPUBLISH (Yogyakarta) pada juli 2020
Buku ini membahas mengenai hukum waris perdata terkait dengan proses menerima dan menolak warisan oleh ahli waris serta akibat hukumnya. Penulis, Dra. Hj. Irma Fatmawati, S.H., M.Hum., menjelaskan yang mendalam mengenai prosedur hukum dan konsekuensi yang terkait dengan tindakan menerima atau menolak warisan. Melalui penelitian yang komprehensif, buku ini menguraikan berbagai aspek yang relevan, termasuk hak dan kewajiban ahli waris, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menerima atau menolak warisan, serta implikasi hukum dari keputusan tersebut. Dengan bahasa yang jelas dan sistematis, buku ini merupakan sumber rujukan yang berharga bagi praktisi hukum, akademisi, dan masyarakat umum yang tertarik dalam bidang hukum waris perdata.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diatur dengan jelas bahwa ahli waris memiliki hak untuk memutuskan apakah mereka akan menerima atau menolak warisan yang terbuka. Mereka tidak dapat dipaksa untuk menerima warisan, dan diberikan kebebasan untuk memikirkan pilihan mereka. Perkembangan hukum juga menunjukkan keterkaitan antara hukum perkawinan dan hukum waris, terutama terkait dengan harta benda perkawinan yang dapat memengaruhi harta peninggalan. Beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Perdata telah dimasukkan ke dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang mengindikasikan adanya perkembangan hukum dalam ranah hukum keluarga.
Banyak dari pihak yang berhak atas warisan, baik disadari maupun tanpa disadari, sering kali secara alamiah menunjukkan kecenderungan untuk menerima warisan secara tulus. Ini dapat tercermin dalam sikap dan perilaku mereka, seperti melakukan tindakan yang menunjukkan kesiapan untuk mengelola harta warisan, atau bahkan secara langsung menyatakan keinginan untuk menerima bagian mereka dari warisan. Hal ini dapat dipandang sebagai respons alami dari ahli waris terhadap warisan yang mereka miliki, walaupun dalam beberapa kasus mereka mungkin perlu secara resmi menyatakan pilihan mereka secara hukum.
Cara mendapatkan warisan:
Mewarisi Untuk Diri Sendiri (Uit Eigen Hoofde) Jika seorang dikatakan mewarisi untuk diri sendiri adalah "orang yang mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal, bahwa orang yang mendapat warisan tersebut masih hidup pada saat warisan terbuka, akan tetapi walaupun ahli waris tersebut, masih hidup jika dilihat dalam ketentuan undang-undang, maka ada kemungkinan bahwa ia tidak mendapat apa yang menjadi bagiannya dalam warisan adalah anaknya". Dalam mewarisi dengan penggantian tempat dapat dilihat dalam Pasal 841 KUH Perdata, yang ditegaskan sebagai berikut. "Penggantian memberikan hak kepada seorang yang mengganti. untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti" (R. Subekti, 1982: 209)
Syarat Syarat Pewarisan:
1. Si pewaris harus telah meninggal dunia: Syarat pertama adalah bahwa si pewaris harus telah meninggal dunia agar warisan dapat dipindahkan kepada ahli waris. Pemindahan harta kekayaan hanya terjadi setelah kepergian si pewaris. (Pasal 830 KUH Perdata)
2. Bahwa seorang harus telah lahir, pada saat pewaris meninggal dunia (Pasal 836 dan Pasal 899 KUH Perdata)
Pihak Utama dalam Pewarisan:
Pewaris adalah orang yang meninggal dan meninggalkan kekayaan. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menurut undang undang maupun surat wasiat atau testament untuk menduduki tempat pihak yang menerima warisan dari si pewaris Dianggap Tidak Pantas Menjadi Ahli Waris Hal pewarisan yang berdasarkan undang-undang (ab intestata) disebutkan siapa-siapa yang dianggap tidak pantas menjadi ahli waris, ditentukan pada Pasal 838 KUH Perdata, sedangkan pewarisan berdasarkan wasiat atau testament.
Seseorang yang tidak pantas menerima waris:
Ditentukan dalam Pasal 912 KUH Perdata Seorang dianggap tidak pantas menjadi ahli waris, menurut "surat wasiat atau testament, yaitu:
1. Apabila ia telah dihukum oleh hakim, karena membunuh pewaris
2. Apabila ia dengan paksaan menghalang-halangi si pewaris akan membuat, mengubah atau mencabut wasiat atan testament.
3. Apabila ia menghilangkan, membinasakan atau memalsukan testament dari si peninggal warisan (Pasal 912 KUH Perdata).
Tujuan berfikir diberikan kepada ahli waris.