Lihat ke Halaman Asli

LeBron James Menyatukan Olahraga dan Moral

Diperbarui: 16 Desember 2020   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pebasket NBA, LeBron James, berbicara pada acara penghormatan untuk mendiang Kobe Bryant sebelum laga kontra Portland Trail Blazers di Staples Center, Los Angeles, California, pada 31 Januari 2020. (Foto: AFP/Harry How)

LeBron James melompat melampaui batas. Pebasket Afrika-Amerika ini membuka kemungkinan lain menjangkau impian bersama.

James bukan saja memimpin Los Angeles Lakers, klubnya yang sudah sepuluh tahun masuk babak playoff saja tidak pernah, menyambar gelar juara NBA dalam kompetisi yang sempat terhenti karena pandemi Covid-19. 

Lompatan James pun turut menentukan jalannya pemilihan presiden AS dan presiden terpilih negara tersebut, yang tak pelak berarti turut memengaruhi tanan politik dunia.

Di tengah gemuruh perayaan kemenangan Lakers pada 11 Oktober lalu, James menepi. Di ruang yang agak sepi, sembari berbaring mengarah ke langit-langit, dia menelepon ibunya. 

Kepada perempuan yang melahirkan dan membesarkan dia dan saudara-saudaranya dengan single parent, James berjanji untuk segera pulang menemuinya dengan gunung rindu di bahunya.

James begitu karena dia paham betul betapa sulit, sangat sulit, melahirkan dan membesarkan anak-anak bagi perempuan berkulit hitam, terlebih sendirian, di AS yang rasis. Negara ini membangun dirinya dengan mendiskriminasi warga kulit berwarna dalam berbagai bidang kehidupan.

Misalnya, untuk bisa hidup sehat saja, seperti menghirup udara bersih dan mendapatkan air bersih, warga kulit berwarna harus mempertaruhkan hidup-matinya sebagai budak di era perbudakan dilegalkan. Hanya satu dua warga kulit berwarna yang sangat kaya yang bisa mendapatkannya dengan agak mudah. 

Begitu pula akses ke pendidikan berkualitas. Mayoritas anak-anak kulit berwarna terjeblos ke dalam sekolah-sekolah yang malah membuat mereka terperosok ke dalam botol alkohol dan moncong pistol.

Tentu saja setiap warga kulit berwarna sangat tidak menghendaki itu. Mereka sangat menghendaki perubahan. Tapi bahkan setelah Barack Obama menjadi presiden pertama orang kulit berwarna dalam sejarah AS, para pihak yang berkeras melanggengkan rasisme sistemik masih saja begitu kuat.

Donald Trump, yang memenangi pemilihan presiden tahun 2016 dengan mengandalkan eksploitasi rasisme, sepanjang masa kepresidenannya malah memperkuat sistem kenegaraan rasis. Dan untuk meraih jabatan presiden keduanya, Trump makin membabi-buta mengobarkan superiotas putih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline