Perspektif Mengenai Konsep Kerentanan
Jika melihat kerentanan dari sisi epistemologis, kerentanan menggunakan pendekatan konstruktivis sebagai kerangka berpikir dari pendekatan kerentanan. Pendekatan konstruktivis melihat persepsi masyarakat atau individu yang beragam seperti adanya nilai, budaya dan agensi (Wagner & Breil, 2013). Jadi pada pendekatan kerentanan hanya melihat suatu komunitas dari sisi sosialnya saja berdasarkan persepsi masyarakat atau komunitas tersebut dari suatu gangguan yang datang. Penelitian terkait kerentanan dibentuk dari tradisi teoritis dari ilmu ekologi manusia, geofisika, ekonomi politik, ekologi politik dan konstruktivisme. Kerentanan disini berfokus pada sistem sosial-politik, resiko bencana, ketahanan pangan, mata pencaharian dan kemiskinan, dan perubahan iklim, yang berasal dari perspektif masyarakat terkait ketidakmampuan masyarakat dalam menghadapi gangguan atau bencana yang datang dari luar (Wagner & Breil, 2013). Metode yang digunakan pada pendekatan kerentanan bermacam-macam, dapat menggunakan metode campuran, bifokal, dan skala spasial. Penelitian kerentanan menitikberatkan agensi, dan sisi sosial saja. Agensi yang dimaksud adalah keterlibatan antara pemangku kepentingan dalam merespon hal yang terjadi dalam masyarakat, dengan mengeluarkan kebijakan tertentu untuk mengatasi hal tersebut. Lalu pendekatan kerentanan juga menitikberatkan pada aspek manusia saja, sehingga hal ini membuat pendekatan ini tidak mampu menghadapi perubahan dari sisi ekologis pada masa yang akan datang. Lalu dari skala penelitiannya, pendekatan kerentanan berfokus pada skala rumah tangga, komunitas, wilayah, dan bangsa yang didefinisikan secara sosial (Wagner & Breil, 2013).
Dalam sisi praktiknya, pendekatan kerentanan berfokus untuk menyelesaikan masalah yang bersifat sosial, terlepas masalah tersebut disebabkan oleh suatu hal (kekeringan, banjir, gempa bumi, dan permasalahan lain) seperti pengurangan resiko bencana, kehilangan mata pencaharian, kerawanan pangan, adaptasi terhadap perubahan iklim (Wagner & Breil, 2013). Cara yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan cara membuat sistem peringatan dini terkait kelaparan, dan juga membuat lembaga seperti IFRC (Federasi Palang Merah Internasional), Lembaga tersebut merupakan lembaga kemanusiaan yang berfokus pada penilaian kerentanan masyarakat di dunia. Dalam kenyataannya setiap komunitas memiliki kerentanan yang berbeda walaupun sama-sama terkena bencana yang sama dan dampak yang sama antar komunitas. Perbedaan kerentanan ini disebabkan oleh perbedaan strategi antar komunitas, dimana komunitas tersebut lebih mempersiapkan jika terjadi bencana dibanding komoditas lain yang kurang mempersiapkan (Wagner & Breil, 2013).
Keterkaitan Kota Jakarta dengan konsep kerentanan
Permasalahan yang melanda Kota DKI Jakarta yaitu jumlah tunawisma di DKI Jakarta meningkat. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada tahun 2020, sebesar 4.622 orang yang dikategorikan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Sebesar 1.044 orang dari total kategori penyandang PMKS yang memiliki status sebagai gelandangan. Selain itu, jumlah individu yang dikategorikan sebagai orang terlantar ialah sebesar 647 orang (CNN Indonesia, 2021). Masalah selanjutnya adalah penataan kampung kota yang dinilai belum partisipatif (Ronald, 2021). Hal ini tidak sesuai dengan janji wakil rakyat yaitu Gubernur DKI Jakarta yang merencanakan program Community Action Plan (CAP) terhadap kampung kota bagi warga kampung akuarium untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Selanjutnya, tingkat kemiskinan di DKI Jakarta meningkat yang disebabkan oleh virus Covid-19. Keberadaan Covid-19 berdampak kepada tingkat pengangguran yang meningkat, serta tingkat kemiskinan di Indonesia turut meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, tertulis bahwa angka kemiskinan di DKI Jakarta melonjak sebesar 5.100 orang sehingga pada bulan Maret 2021 total masyarakat miskin sebesar 501.920 individu (Hermawan, 2021). Berdasarkan berbagai masalah yang telah dipaparkan di DKI Jakarta, ini memiliki hubungan dengan konsep kerentanan. Karena jumlah tunawisma, rencana program yang tidak partisipatif, dan meningkatnya kemiskinan memiliki keterkaitan dengan aspek sosial dari berbagai kesulitan serta kegagalan yang melanda, dan tidak memperhatikan masalah yang dihadapi dengan aspek lingkungan. Berbagai permasalahan yang datang disebabkan oleh ketidaksanggupan masyarakat DKI Jakarta dalam menghadapi gangguan yang datang dari luar.
Keterkaitan Kota Seoul dengan Konsep Kerentanan
Korea selatan merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi di bidang energi. Kebutuhan energi Korea Selatan sebanyak 86 % berasal dari energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Minyak menjadi sumber energi terbesar bagi Korea Selatan yaitu sebanyak 41 %, disusul batubara sebanyak 31 %, gas 14 %, nuklir 13 %, dan sumber energi terbarukan sebanyak 1 % dari total konsumsi energi (EIA, 2017). Kebutuhan ini terus berkembang seiring dengan perkembangan industri dan ekonomi yang bisa dibilang cukup pesat dengan presentasi perkembangan mencapai 66% (EIA, 2017). Konsumsi minyak Korea Selatan terus mengalami kenaikan sejak tahun 2008, dimana pada tahun 2008 jumlah konsumsi minyaknya adalah 2,1 juta barel per hari dan di tahun 2015 mencapai 2,4 juta barel per hari. Hal ini menunjukan bahwa perekonomian dan industri di korea sangat rentan akan adanya krisis energi, dan jika hall itu terjadi collapse besar-besaran tentu akan terjadi di korea selatan tak terkecuali di seoul.
Perspektif Mengenai Konsep Ketahanan
Lain halnya ketika berbicara mengenai konsep ketahanan yang pada dasarnya tidak akan jauh terhadap suatu perubahan yang nantinya menemukan titik ekuilibrium yang baru. Dapat diketahui bahwa konsepsi ketahanan merupakan daya tanggap terhadap suatu perubahan yang terjadi secara mendadak, dan adanya gangguan yang tidak bisa diprediksi, ketahanan juga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam proses internal maupun eksternal. ketahanan ini juga dapat membingkai transformasi yang lebih bertahap dan bisa membantu sekaligus memandu tentang tanggapan terhadap hal yang bisa diperkiraan atau yang bisa diprediksi (Wagner and Breil 2013). Ketahanan terjadi di tiga dominan yakni pertama pemulihan pada fisik lingkungan binaan, kedua yakni adalah pemulihan pada bidang keuangan ekonomi, dan yang terakhir ketiga adalah mengembalikan emosional yang dirasakan terhadap individu maupun keluarga. Kajian ini justru mentransformasi perubahan yang sifatnya radikal dan mendasar. Pertimbangan perubahan pun ada pada ketimpangan ekologis.
Keterkaitan Kota Seoul dengan Konsep Ketahanan
Jika ditilik secara mendalam dengan menggunakan kacamata sosiologi, maka pembangunan restorasi Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan merupakan salah satu kawasan yang mengonseptualisasikan ketahanan kota sebagai upaya transformasi wajah ekologi dengan mempertimbangkan aspek manusia, sejarah, hingga alam. Dalam konsep ketahanan sendiri, makhluk hidup yang hadir didalamnya harus mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai tekanan dan guncangan di masa mendatang, entah itu dalam skala kecil, menengah, atau bahkan besar maupun jangka pendek sampai panjang, salah satunya dalam memahami cara kerja sistem yang baru. Studi kasus ini membawa penulis untuk memahami kemampuan kota Seoul dalam bertahan terhadap tantangan yang dihadapi, yaitu pada pembangunan restorasi sungai Cheonggyecheon. Sebelum restorasi dilakukan, kawasan ini terdapat jalan layang (overpass) yang menjadi penting untuk jalur transportasi, namun para pakar menemukan bahwa struktur bangunan overpass ini memburuk yang mana menimbulkan ancaman baru bagi pengguna overpass tersebut. Akibatnya dibutuhkan rekonstruksi secara keseluruhan dengan biaya cukup besar guna meminimalisir bahaya kecelakaan yang terjadi. Tidak hanya itu, seiring maraknya konsep pembangunan berkelanjutan yang harus mengedepankan kondisi ekologi, justru pemerintah terdorong untuk merestorasi sungai yang tertutup dengan tujuan mengembalikan dan memulihkan nilai historis dan ekologis (Andikha and Cahyadi n.d.).